visitaaponce.com

Functional Medicine vs Conventional Medicine

Functional Medicine vs Conventional Medicine
Dr Widya Murni, MARS, Dipl of IHS (International Hormone Society), Pendiri Organisasi Functional Medicine Indonesia(Dok Pribadi)

JIKA kita menelusuri ilmu kedokteran, menurut ilmu Conventional Medicine yang mendominasi dunia kedokteran (dipelopori kedokteran barat), terdapat 2 golongan dokter di dunia yakni dokter umum dan dokter spesialis yang secara hirarki dibagi berdasakan keilmuan yang dimiliki. Dokter umum hanya mempelajari berbagai kelainan dan penyakit manusia secara umum. 

Jika proses penyakit berlanjut, maka pasien akan dirujuk ke dokter spesialis. Ilmu ini lebih mengutamakan pada penegakan diagnosis dan pengobatan simptomatik saja. Padahal sejatinya, manusia adalah makhluk dengan sistem organ yang tidak terpisahkan, satu kesatuan holistik: body, mind, and spirit are a whole.

Dr. Willoughby Wade (1871), penulis pertama konsep ilmu Functional Medicine, menyatakan bahwa kemajuan yang dialami bidang kedokteran cenderung memisahkan antara teori ilmiah kedokteran dasar dengan praktik ilmu kedokteran sederhana. 

Baca juga : Penyelesaian Distribusi Dokter Dinilai Belum Optimal

Berbeda hal dengan Functional Medicine yang tetap memadukan art and science karena setiap gejala yang muncul dari suatu gangguan merupakan akibat tidak sempurnanya fungsi suatu organ sehingga perlu tatanan pemikiran yang lebih tinggi dalam penanganannya. Hebatnya, konsep yang dibuat Dr Wade ini ternyata masih dapat diterapkan hingga sat ini. 

Selama berabad-abad, tujuan Functional Medicine selalu berfokus dalam menemukan akar penyebab masalah perubahan fungsi fisik, metabolik, kognitif, dan perilaku yang dikenal sebagai kondisi penyakit. Konsep Functional Medicine adalah cara berpikir tentang pendekatan kompleks yang dimiliki seorang pasien, bukan serangkaian protokol pengobatan khusus, melainkan personalisasi yang berfokus pada akar permasalahan penyakit. 

Berbekal pengalaman profesi sebagai praktisi Functional Medicine selama hampir 17 tahun, saya telah menghadapi berbagai kasus penyakit mulai dari yang ringan hingga berat. Selama ini dokter konvensional selalu ditantang dalam penyembuhan suatu penyakit (dikenal sebagai healing process), yang ternyata melibatkan banyak komponen lain dalam kebutuhan penyembuhan seseorang di samping obat farmasitikal yang menjadi senjata utama dokter konvensional selama ini. 

Baca juga : Grup RS Siloam Dukung Peningkatan Kompetensi Dokter Uri-Nefrologi di Tanah Air

Padahal terjadinya suatu penyakit bisa berasal dari berbagai faktor ketidakseimbangan, baik eksternal maupun internal, pengaruh gaya hidup, genetik, fisik, mental, emosional dan spiritual. Salah satu contoh nyata terlihat pada pandemi covid-19 yang baru saja dialami secara global. Saat itu orang senantiasa mencari solusi alami terbaik sesuai dengan lingkungan geografisnya. 

Di Indonesia, orang merasa perlu mengonsumsi jamu untuk pertahanan sistem imunnya karena protokol Western Medicine dalam menentukan jenis antivirus terkini tidak murah dan tidak mudah didapatkan saat itu. 

Jamu ternyata memiliki komponen utama Curcumin atau Kunyit (Curcuma longa rhizoma) yang memang sudah menjadi obat alami turun-temurun sejak zaman dahulu. Kandungan jamu memiliki komponen anti inflammasi kuat yang tidak hanya meningkatkan sistem imun semata, tapi juga antivirus, anti depresi, bahkan anti tumor dan kanker. 

Baca juga : Update Keilmuan, Perdosri Gelar Pertemuan Ilmiah Tahunan  2023 di Malang

Di sini kita melihat secara global bahwa tren pengobatan dengan obat alami sangat disukai saat ini. Kita dapat memanfaatkan Curcumin secara ilmiah untuk kemaslahatan orang banyak, bukan sekadar karena berasal dari Herbal Medicine semata.
 
Dalam Functional Medicine kita harus senantiasa menggali akar penyebab dari berbagai penyakit kronik degeneratif yang menjadi beban besar setiap negara dalam pembiayaan kesehatannya. Saya melihat sebuah aspek penting; yakni kekurangan vitamin D yang sedang dialami  global dan mungkin saja menjadi akar penyebab timbulnya keparahan pada global pandemi Covid-19. 

Jika kita dapat mengoptimalkan kadar vitamin D masyarakat Indonesia di atas 60 ng/mL saja, kita dapat menghindari berbagai keadaan penyakit kronik degeneratif yang diderita populasi terbanyak di negara kita. Kita bahkan bisa meminta pakar Ekonomi Kesehatan di Indonesia untuk menghitung beban biaya negara yang dapat dihemat oleh BPJS Kesehatan dalam pembiayaan berbagai penyakit kronis yang diderita sebagian besar penduduk kita, yang tentu saja dapat menghemat APBN negara kita dan meningkatkan kualitas hidup Masyarakat Indonesia pada umumnya di masa depan. 

Semoga pada kabinet baru Presiden RI yang akan datang, ada perubahan besar yang bisa dibuat untuk mencegah penyakit dan pemulihan berdasarkan Ilmu Functional Medicine agar generasi Indonesia Emas yang diharapkan semakin berkualitas dan rakyat kita semakin kuat kesehatannya. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat