visitaaponce.com

Kasus Minyak Goreng tak Penuhi Kualifikasi Layak Hukuman Mati

Kasus Minyak Goreng tak Penuhi Kualifikasi Layak Hukuman Mati
Ilustrasi(MI/ Duta)

APARAT penegak hukum dan masyarakat diminta untuk berhenti menggulirkan wacana hukuman mati bagi para tersangka kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng. 

Pengamat menilai perkara itu tidak memenuhi kualifikasi penjatuhan pidana mati sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu, pidana mati dapat dijatuhkan jika para tersangka melakukan korupsi dalam keadaan tertentu, misalnya saat keadaan darurat, bencana alam, krisis ekonomi, maupun krisis moneter. 

Keadaan-keadaan itu, lanjutnya, harus dinyatakan secara resmi terlebih dahulu oleh negara.

"Ini kan enggak bencana alam. Apakah pandemi (covid-19) masuk bencana alam? Ya jelas tidak lah," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (23/4).

Meski tidak menyebut dengan gamblang akan menuntut mati para tersangka, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan pihaknya mempertimbangkan pemberatan hukuman. 

Sebab, kejahatan yang dilakukan pelaku terjadi saat negara sedang pandemi dan mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di pasaran.

"Pemberatan ini akan menjadi pertimbangan penting bagi kita semua, karena kita Kejaksaan konsentrasi betul terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya startegis dan ini juga penting bagi kelangsungan pembangunan," aku Febrie, Jumat (22/4).

Norma pemberatan dalam UU Pemberantasan Tipikor mengacu kepada hukuman mati. Erasmus menilai narasi hukuman mati yang disampaikan aparat penegak hukum hanya sebatas teatrikal saja. 

Sebelumnya, hal serupa juga pernah diutarakan Ketua KPK Firli Bahuri saat Juliari Peter Batubara, yang saat itu menjabat Menteri Sosial, tersandung kasus rasuah bantuan sosial sembako covid-19.

Erasmus mengingatkan, penuntutan pidana mati ke tersangka menandakan target Kejaksaan hanya sampai pelaku perorangan. Padahal, Korps Adhyaksa diharapkan mampu pula menjerat tersangka korporasi dalam kasus itu.

"Kejaksaan sudah bagus banget untuk memulai penyidikan ini, jadi jangan sampai masyarakat menangkapnya kalau hukuman mati berarti ke orang dong," katanya.

Narasi pidana mati juga akan membatasi jaksa dalam memuntut hukuman lain yang lebih bertujuan untuk memulihkan kerugian negara, seperti dendan dan pidana tambahan uang pengganti. Menurut Erasmus, ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menyebut jaksa harus berpedoman pada alat-alat bukti yang sah dalam mempersiapkan surat dakwaan. Dalam menuntut hukuman maksimal, yakni pidana mati ke para tersangka, jaksa sangat bergantung kepada proses pemeriksaan dan pengumpulan alat-alat bukti.

"Kemungkinan untuk dituntut dengan hukuman mati secara normatif ada dasarnya. Dalam pasal tadi, yang tentu harus dibuktikan secara meyakinkan mengenai frasa 'dalam keadaan tertentu'," terang Barita melalui keterangan tertulis kepada Media Indonesia.

Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam perkara tersebut, salah satunya merupakan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana.

Tersangka lainnya adalah Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, dan Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.

Febrie menegaskan para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat