visitaaponce.com

Pakar Pertanyakan Kerugian Negara yang Berubah di Kasus Surya Darmadi

Pakar Pertanyakan Kerugian Negara  yang Berubah di Kasus Surya Darmadi
Surya Darmadi (tengah)(Antara)

PAKAR  tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih meminta Kejaksaan Agung tidak tergesa-gesa menentukan nominal kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi perizinan lahan kelapa sawit PT Duta Palma Group yang melibatkan Surya Darmadi.

Pasalnya, Kejagung kerap berubah-ubah menyebut angka kerugian negara dalam kasus tersebut.

Yenti menyebut, sejatinya kerugian negara terbagi dua, yaitu kerugian keuangan negara dan perekonomian negara karena korupsi itu. 

Di sisi lain, Yenti menyayangkan klausul ‘potensi kerugian negara’ dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Jadi ada kondisi kerusakan lahan atau potensi-potensi yang dihitung kerusakan tanah karena ditanami sawit itu harus ada dana reboisasi. Saya berpikir, sayang sekali pada waktu potensi kerugian negara dihilangkan oleh MK. Harusnya potensi, ngitung itu nanti yang penting ada potensi kerugian negara sudah cukup,” ujar Yenti, Kamis (6/10).

Terakhir, Surya disebut merugikan Negara sebesar Rp86,5 triliun. Jumlah ini berbeda ketika Surya Darmadi ditetapkan sebagai tersangka, yakni Rp78 triliun.  Kemudian dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa jumlah kerugian negara yang timbul sebesar Rp104 triliun.

Yenti mengatakan, proses persidangan sebaiknya juga membuka siapa saja yang terlibat. Termasuk jika memang ada penyerobotan lahan dan hak guna hutannya tidak beralih sama sekali, maka ada pembiaran. 

“Penghitungan-penghitungan saya dengarkan dari ahlinya ternyata ada, kita harus melek hukum juga bahwa kalau ada seperti ini, lingkungan dirusak, pemulihan hak atas hutan itu kondisi tanahnya harus kembali semula. Itu dihitung, reboisasinya berapa? Kemudian setelah diuntungkan, berapa keuntungan yang ada itu harus disita dan itu digunakan apa aliran TPPU," jelas Yenti 

Menurutnya, jika ada oknum yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kekuasaan kemudian ada orang diuntungkan baik dirinya atau orang lain, itu pasti menimbulkan kerugian negara. 

“Karena ditulis harus ada kerugian negara, jadi harus dihitung dan perhitungan itu memperlama (proses hukum). Jadi menurut saya, hitung-hitungannya seperti itu kita kawal saja. Awalnya berapa? Sekarang berapa? Baru tahu saat dakwaan menjadi Rp84 triliun. Ya itu harus dijelaskan saja. Makanya jangan dirilis dulu kalau belum jelas, tapi nanti akan kita dengarkan (di sidang),” jelasnya.

Di si si lain, ia berharap Kejaksaan tidak terburu-buru mengumumkan kerugian negara, jika perhitungannya belum rampung.

 “Nanti malah menimbulkan kecurigaan kan. Nggak boleh berubah-ubah gitu, nanti saja diumumkannya, kalau sudah dakwaan Jaksa Penuntut Umum, jadi jangan suka membocorkan yang belum pasti. Meskipun, kita harus awasi. Jangan-jangan enggak diumumkan malah dipotong, hilang sitaannya,” kata dia. 

Ia juga berharap Kejaksaan juga tidak menyita aset-aset jika belum pasti hal itu sebagai barang bukti korupsi. 

Jika Duta Palma tidak bisa menggaji karyawan karena disita Kejaksaan, lanjut Yenti, maka harus dipisahkan uang perusahaan yang sah, dan uang perusahaan yang diduga hasil kejahatan.

“Makanya, DPR harus segera memiliki UU perampasan aset, sehingga nanti disitu diaturnya,” kata Yenti. 

Adapun Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir menyebutkan sisi lain dari perhitungan kerugian negara. Ia berpandangan, dalam perkara korupsi yang berkompeten menghitung kerugian keuangan negara adalah BPK RI. 

Pasalnya,  penggunaan uang negara atau uang yang harusnya masuk ke negara, akan disusun laporan pertanggungjawaban oleh BPK RI.

“Kalau yang melakukan audit bukan BPK RI, berarti uang tersebut bukan keuangan negara atau tidak termasuk keuangan negara,” kata dia. 

Mudzakkir melanjutkan, jika ada beberapa auditor privat menghasilkan hasil audit berbeda beda yang diperbaiki sampai dengan tiga kali, maka patut diragukan kebenarannya. 

“Diduga dalam melakukan audit tidak sesuai dengan standar audit, atau berbeda dengan audit investigasi yang ditetapkan oleh BPK RI,” kata dia. 

Auditor yang berani mengklaim kerugian keuangan tersebut, kata dia, wajib membuktikan bahwa laporan penggunaan keuangan tersebut adalah keuangan negara. Lalu terjadi kerugian negara yang kemudian dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. 

“Jika tidak bisa dibuktikan, maka kerugian tersebut bukan kerugian keuangan negara,” jelasnya. 

Menanggapi hal ini, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah menyatakan, tak ada perubahan angka kerugian negara dan perekonomian negara dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Duta Palma Group. 

Hanya saja, kata Febrie, ada beberapa item kerugian perekonomian negara yang timbul dalam kasus ini beluk dimasukan.

"Nilai sih enggak berubah. Ahli akan tampil di persidangan untuk menjelaskan secara teknis. Jaksa akan mempertahankan di persidangan," kata Febrie. 

Dalam dakwaan disebutkan perbuatan Surya Darmadi merugikan keuangan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 dan 7.885.857,36 dolar AS berdasarkan laporan BPKP. Kemudian, kerugian perekonimiannegara sebesar Rp73.920.690.300 berdasarkan laporan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada padal 24 Agustus 2022 sehingga total kerugian negara akibat perbuatan Surya Darmadi adalah Rp78,8 triliun.

Surya Darmadi diduga melakukan tindak pidana korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di provinsi Riau periode 2004-2022 sehingga memperoleh keuntungan sebesar Rp7.593.068.204.327 dan 7.885.857,36 dolar AS (sekitar Rp117,617 miliar dengan kurs Rp 14.915) sehingga totalnya Rp7,71 triliun.

Atas keuntungan Rp7,71 triliun yang diperolehnya, Surya Darmadi lalu diduga melakukan tindak pidana pencucian uang pada periode 2010-2022 berupa pembelian tanah, properti, memberikan pinjaman kepada pihak yang terafiliasi, membiayai pembangunan pabrik hingga pembelian saham. (Ant/OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat