visitaaponce.com

Menakar Potensi Dukungan Nahdliyin di Pemilu 2024

Menakar Potensi Dukungan Nahdliyin di Pemilu 2024
Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama.(MI/Susanto)

Dalam Pemilu 2024 sikap politik yang diambil partai politik diduga cenderung menggabungkan kekuatan nasionalis dan Islam. Mereka akan menggabungkan kekuatan nasionalis dan Islam, yakni kekuatan politik Islam moderat, seperti yang ada di tubuh para Nahdliyin.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam, menilai hal ini tidak aneh sebab jika berkaca dari Pemilu 1955 dan 1971 praktek dan keyakinan itu muncul dan bertujuan memenangkan kontestasi kekuasaan politik di Indonesia.

"Dalam konteks pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP, maka keyakinan lama itu bersemi kembali. PDIP diyakini tidak akan menggunakan golden ticketnya sendiri, tetapi akan menggandeng kekuatan politik Islam sebagai pelengkap koalisi guna meneguhkan narasi nasionalisme dan Islam. Itu juga yang sebetulnya terjadi pada pemilu 2024 yang masih ada menggunakan politik indentitas," ujarnya.

Baca juga: Punya Basis Massa NU, Erick Thohir Berpeluang Dampingi Ganjar

Umam yang dihubungi, Jumat (28/4), menilai jika mencermati partai politik Islam atau partai berbasis ormas Islam yang ada, mulai dari PKB, PAN, PKS hingga PPP, yang paling memungkinkan untuk didekati PDIP saat ini adalah PPP. Sedangkan PKB telah memiliki agenda kepentingan sendiri untuk mengusung Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar.

Sikap politik untuk nasionalis religius ini tidak hanya dilakukan PDIP tapi hampir semua parpol papan atas. Mereka memilih langkah yang sama salah satunya dengan membidik tokoh Islam seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Kemenkopolhukam Mahfud MD, dan tokoh Islam lainnya.

Baca juga: Anis Baswedan Perlu Pendamping dari NU Hadapi Serangan Politik Identitas

“PDIP sendiri belum pernah memiliki sejarah koalisi atau kerja sama politik dengan PAN dan PKS, selaku representasi kekuatan politik Islam berbasis massa Muhammadiyah dan juga jaringan Tarbiyah. Dan bisa kita lihat seperti elit parpol besar seperti Surya Paloh, Megawati juga memilih tokoh religius,” ungkapnya.

Di sisi lain jika dicermati PPP terlihat tidak menyiapkan kadernya secara optimal sehingga yang bisa PPP lakukan adalah menjual tiket politik kepada pialang politik melalui skema transaksional dan naturalisasi politik secara instan. Strategi politik semacam itu belakangan ini telah memunculkan sejumlah nama-nama politisi seperti Sandiaga Uno atau Erick Thohir.

"Keduanya secara mendadak mendaku sebagai tokoh muda Nahdliyin, yang jika merujuk pada rekam jejaknya, model pendekatan dan kontribusi mereka terhadap NU cenderung transaksional. Memang betul, Sandi bisa secara instan dicap sebagai Nahdliyin dengan label baru kader PPP, atau Erick bisa dicap sebagai Nahdliyin oleh elemen di struktur PBNU yang konon sejak awal mengklaim PBNU akan netral. Cap Nahdliyin seolah diperjualbelikan secara terbuka dan leluasa,” cetusnya.

Meskipun keduanya bisa secara instan mendaku sebagai Nahdliyin, namun besar kemungkinan realisasi dukungan Nahdliyin kepada keduanya relatif rendah. Sebab, rekam jejak pendekatan terhadap NU memang tidak didasarkan pada pemahaman ideologis dan cenderung transaksional.

Sementara itu, literasi politik Nahdliyin juga semakin kuat. Suara Nahdliyin tidak lagi bisa dikendalikan dengan basis partonase kepemimpinan dalam lingkungan Nahdliyin, baik pada level kiai maupun struktur Nahdlatul Ulama (NU).

"Ini bisa dibuktikan di Pemilu 2004 atau 2009 meskipun tokoh-tokoh struktur NU maju sebagai kontestan, namun arah dukungan masyarakat Nahdliyin lebih mengikuti suara hati mereka untuk memilih pemimpin nasional. Dalam konteks Pemilu 2024,. tampaknya basis kekuatan suara Nahdliyin akan tersebar secara merata ke sejumlah tokoh-tokoh Capres yang sedang berusaha memperebutkan hati dan suara warga NU," tukasnya.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat