visitaaponce.com

Pemerintah Didorong Lakukan Pendekatan Humanis Atasi Konflik Papua

Pemerintah Didorong Lakukan Pendekatan Humanis Atasi Konflik Papua
Pilot Susi Air bersama penyandera KKB.(Dok.TPNPB )

ANGGOTA Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OKP) Pendeta Albart Yoku menuturkan bahwa pendekatan humanis lebih dibutuhkan oleh rakyat Papua dalam penanganan konflik. Pasalnya masalah kemanusiaan sebagai dampak dari konflik antara aparat dan kelompok kriminal bersenjata juga mendesak untuk ditangani. Hal itu ia utarakan seusai rapat koordinasi BP30KP di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta, Rabu (31/5).

Albart mengakui bahwa ada beberapa klaster wilayah di Papua yang masuk dalam zona merah atau rawan konflik antara lain di Papua Pegunungan. Dari di 8 kabupaten di Papua Pegunungan, terangnya, 3 kabupaten mengalami konflik dan terdampak seperti Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang. Sementara di Kabupaten Lanny Jaya, imbuhnya, banyak pengungsi dari Kabupaten Nduga.

"Dari Nduga itu ada 32 distrik atau kecamatan. Dari situ (Nduga) ada 16 (distrik) yang benar- benar terdampak. Di mana rakyat sudah keluar dari konflik itu. Dan ini yang kami katakan untuk segera ditangani masalah kemanusiaan," ucap Albart pada wartawan.

Baca juga: Anggota KKB yang Terlibat Berbagai Aksi Kriminal Ditangkap

Ia lebih jauh menegaskan, pemerintah tetap bisa melakukan pendekatan keamanan melalui TNI/Polri. Namun, BP3OKP berharap pemerintah juga bisa menangani masalah sosial yang dirasakan rakyat Papua.

"Kami sangat mengharapkan dalam waktu singkat ini kita menangani masalah sosial kebutuhan kebutuhan sosial masyarakat di sana," ucapnya.

Baca juga: Negosiasi Pembebasan Pilot Susi Air Alot

Saat ini pemerintah juga belum berhasil membebaskan Pilot Maskapai Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens yang disandera oleh kelompok kriminal bersenjata. Merespons hal itu, Albart menuturkan pembebasan diupayakan oleh bupati, tokoh adat maupun tokoh gereja melalui dialog dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dipimpin oleh Egianus Kogoya. Namun, Albart menyampaikan negosiasi itu terkendala karena KKB cenderung berpindah-pindah lokasi.

"Semoga ada ruang untuk berdialog. Meski ada pendapat tetapi akan ada solusi jika bertemu. Yang kami tunggu dari waktu ke waktu itu Egianus Kogoya bisa bertemu langsung ke kita agar bisa selesaikan masalah," ungkapnya.

Dampak dari konflik bersenjata di Papua, terang Albart, tidak hanya itu. Konflik, ujarnya, juga membuat pembangunan di bumi Cenderawasih terhambat sehingga rakyat Papua belum merasakan dampak signifikan. Hal itu yang menurutnya perlu diselesaikan segera.

"Kita lebih menitikberatkan kepada yang terdampak. Kan yang terdampak itu lebih banyak, kita biarkan rakyat lapar, pembangunan tidak terurus dan sebagainya maka lebih baik kita tangani rakyat itu," ucap dia.

Ia menilai pendekatan psikologi dan pendekatan humanis lebih dibutuhkan untuk penanganan konflik di Papua. Ia mencontohkan program Damai Cartenz yang pernah dilakukan TNI dan Brimob. Aparat keamanan, imbuhnya, membantu masyarakat seperti mengajar anak-anak di Papua atau membantu pengadaan sanitasi. Dengan demikian, diharapkan masyarakat Papua menurutnya dapat hidup dengan damai.

"Yang lebih kepada soft (approach) ya. Ya itu seperti program damai Cartenz itu kan TNI dengan Brimob yang ke sana membantu jadi guru, membantu penanaman dan sebagainya," tukasnya. (Ind/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat