visitaaponce.com

Pengamat Sebut Pesawat Tempur Indonesia yang Siap Tempur Terbatas

Pengamat Sebut Pesawat Tempur Indonesia yang Siap Tempur Terbatas
Jet tempur F-16 milik TNI AU(ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menekankan kepada Kemhan, Polri, BIN, dan kejaksaan untuk berhati dalam pembelian barang dengan anggaran sampai Rp29,7 triliun.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia melalui Kemhan telah membeli 1 skuadron pesawat tempur bekas pakai milik Angkatan Udara Qatar. Untuk mendatangkan 12 unit pesawat tempur Mirage 2000-5 second hand tersebut, Kementerian Pertahanan RI harus merogoh kocek Rp11,8 triliun.

Menanggapi itu, pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menuturkan sulit menyimpulkan pernyataan presiden itu sekadar drama. Menurutnya, pesan Presiden Jokowi terhadap beberapa instansi itu lebih merupakan pernyataan normatif.

Baca juga: Pengamat Sebut Eksekusi Anggaran Belanja Alutsista Harus Tepat Sasaran

“Pesan agar berhati-hati dalam belanja itu lebih terkait pada persoalan urgensi, prioritas, efisiensi dan akuntabilitas secara umum,” ucap Khairul kepada Media Indonesia, Selasa (4/7).

Adanya belanja pesawat tempur yang kemudian memicu polemik seperti pembelian Mirage bekas, Khairul mengira hal itu tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan pesan kehati-hatian dari Presiden.

Baca juga: DPR Minta Menhan Batalkan Pembelian Jet Tempur Bekas Senilai Rp11,8 Triliun

“Ketimbang mengaitkannya dengan pembelian Mirage bekas, pesan itu sebenarnya lebih relevan jika dikaitkan dengan belanja sepeda motor untuk para Babinsa se-Indonesia yang dilakukan Kemenhan,” tegasnya.

“Kita bisa menguji, apakah pembelian itu didasarkan pada urgensi dan prioritas yang jelas, atau lebih didasarkan pada motif-motif lain. Motif politik misalnya, mengingat pembelian itu bahkan dikelola langsung oleh Kemhan, bukan Mabes TNI atau Mabes angkatan. Di beberapa daerah, penyerahannya pun langsung dilakukan oleh Menhan,” tambahnya.

Sementara terkait pembelian Mirage bekas, Khairul berpendapat hal itu masih wajar mengingat akan segera menghadapi tenggat waktu pencapaian MEF pada akhir 2024.

Namun hingga saat ini Kekuatan udara berada di posisi capaian terendah, sebagai dampak pelambatan dan stagnasi di Renstra II (2015-2019), pandemi covid-19 dan pensiunnya F5-E Tiger dan A-4 Skyhawk.

“Adanya delay ini menyebabkan ada gap antara kekuatan faktual dengan kebutuhan. Untuk mencukupi kebutuhan ini, kita harus belanja. Tentu saja idealnya beli yang baru,” tuturnya.

Namun, Khairul mengakui pembelian alutsista baru datangnya tiga sampai empat tahun ke depan, sedangkan sedangkan kebutuhan faktual TNI tidak bisa ditunda.

Sementara, jet tempur milik Indonesia yang siap tempur juga sudah sangat terbatas.

“Jika tidak mengambil langkah transisi, akan sangat kecil kemungkinan untuk mengejar capaian MEF matra udara melalui pembelian alutsista baru hingga 2024 mendatang,” ucap Khairul.

Memang, Indonesia sudah pesan jet tempur Rafale dan pesawat lainnya, tetapi paling cepat jet tempur itu tiba pada 2026. maka dari itu, selama masa transisi diperlukan kekuatan penopang.

“Jadi walaupun menurut saya sebenarnya belanja Mirage itu juga terkesan agak 'tricky', namun alasan mengisi celah atau kesenjangan kekuatan itu masih dapat diterima. Ya terutama untuk menyelamatkan reputasi pemerintah dari bayang-bayang kegagalan memenuhi target MEF,” tandasnya. (Ykb/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat