visitaaponce.com

Pemerintah Jangan Ciptakan Preseden Buruk dalam Pembebasan Pilot Susi Air

Pemerintah Jangan Ciptakan Preseden Buruk dalam Pembebasan Pilot Susi Air
Pilot Susi Air, Philip Mehrtens yang disandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.(Dok. TPNPB )

PEMERINTAH disebut tidak boleh memberi ruang terhadap kelompok-kelompok yang akan menorehkan preseden buruk termasuk dalam upaya pembebasan pilot Susi Air Philips Mark Mehrtens. Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin saat ditemui di gedung DPR mengatakan pemerintah harus bersikap tegas untuk menghentikan masalah di Papua, bukan sekadar membebaskan tawanan dengam tebusan Rp5 miliar.

"Negara tidak boleh tunduk atau dipaksa oleh kemauan kriminal apa pun alasannya. Kalau situasi ini dibiarkan jangankan lima milyar minta tebusan Rp100 demi kehormatan negara tidak akan diberi. Ini tidak baik akan jadi preseden dan akan terulang lagi," tegasnya, Rabu (5/7).

Dia menerangkan terdapat informasi dari beberapa versi. Salah satunya dari pemilik Susi Air, Susi Pudjiastuti yang ingin anak buahnya segera bebas dengan tebusan sejumlah uang. Namun masalah ini sudah menjadi masalah negara sehingga negara harus memberikan keputusan yang tepat.

Baca juga: TPNPB-OPM Siap Bebaskan Pilot Susi Air Tanpa Tebusan

"Nilai itu memang kecil dibandingkan nyawa san itu manusiawi. Tapi saya setuju dengan sikap TNI melakukan upaya lain. Sekarang sudah jadi masalah. Jadi negara harus memutuskan jangan pemda jangan perusahaan. Berdiskusi bersama pemda, pemerintah pusat, TNI dan Polri juga Susi Air untuk sebuah keputusan," tambahnya.

Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengungkapkan upaya pembebasan sandera tersebut seharusnya menjadi pintu masuk penyelesaian konflik Papua. Jalan yang terbaik yakni membuka zona damai yang disepakati oleh dua belah pihak.

Baca juga: Pemerintah Upayakan Pendekatan Lunak dan Keras untuk Bebaskan Kapten Susi Air

"Untuk penyelesaian masalah sandera ini memang jalan yang terbaik dan ideal melalui negosiasi damai harus melibatkan para pihak yang berkonflik dalam hal ini TPNPB dan TNI Polri, dan masing-masing harus ada negosiator. Saya tidak tahu apakah mereka jalan sendiri atau satu komando," ungkapnya.

Dia menilai dalam upaya ini tidak terlihat indikasi pemerintah untuk bernegosiasi atau menciptakan zona damai. Hal ini bisa dilihat dari penegakan hukum yang terus dilakukan dengan pengiriman pasukan militer ke Papua.

"Soal keberulangan ini bukan kejadian pertama kali tapi sudah kesekian kali. Kalau kita melakukan pendekatan kekerasan maka hasilnya juga kekerasan," lanjutnya.

Sementara itu menurut peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis upaya pembebasan oleh pemerintah dengan memberikan uang tembusan perlu diklarifikasi lagi. Sebab langkah itu harus mendapat persetujuan atau mandat pemerintah untuk melakukan negosiasi juga dari keluarga pilot.

"Karena tanpa mandat yang jelas tentu pemerintah nampaknya tergesa gesa melakukan negosiasi itu. Kemudian apakah memang TNI juga mendapatkan mandat untuk melakukan negosiasi, kenapa bukan orang sipil/pejabat," jelasnya.

Pihak yang menjadi negosiator sebaiknya berasal dari orang yang dipercaya oleh keluarga penyandera. Sehingga ada kepercayaan antara kedua belah pihak. Secara prinsip TNI bekerja berdasarkan UU sebagai alat negara yg hanya melaksanakan tupoksi sesuai dengan perintah otoritas sipil (menteri/ presiden).

"Jadi TNI tidak bisa menugaskan diri terkait masalah penyanderaan ini," tukasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat