visitaaponce.com

Kontras Peradilan Kasus HAM oleh Jokowi Jauh dari Harapan

Kontras: Peradilan Kasus HAM oleh Jokowi Jauh dari Harapan
Infografis(MI)

KOMISI Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat penanganan kasus hak asasi manusia (HAM) di masa Presiden Joko Widodo buruk dan jauh dari harapan.

Bahkan setidaknya pada tahun ini kondisi ini menyebabkan lemahnya atau turunnya indeks demokrasi kita yang berpotensi mengarahkan kembali ke zaman otoritarianisme bahkan totaliarisme.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan prilaku laten mengangkat isu HAM menjadi isu lima tahunan merupakan pembodohan. Sebab, sejatinya kasus pelanggaran HAM adalah isu yang selalu dibunyikan oleh orang-orang atau komunitas yang melakukan advokasi.

Baca juga : Jokowi Dinilai Ciptakan Imunitas bagi Pelaku Pelanggar HAM

"Pasti ada upaya untuk menekan, menyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Konsistensi dari keluarga korban, banyak sekali kasus kelompok korban yang melakukan aktivasi kasus Talangsari, Trisakti, kasus di Papua dan Aceh dan kasus kejahatan Orba yang selalu menyuarakan aspirasi dan suaranya. Kenapa negara tidak kunjung menyelesaikannya. Padahal Indonesia sudah cukup mumpuni untuk melakukan penyelesaian," ujarnya.

Upaya mendorong penyelesaiaan kasus HAM salah satunya dilakukan secara konsisten dalam waktu 16 tahun terakhir lewat Aksi Kamisan.

Kontras menyampaikan, banyak publik mempertanyakan upaya penyelesaian kasus HAM berat yang sulit dilakukan oleh pemerintah. Padahal pada era presiden Abdurahman Wahid telah membentuk dua pengadilan kasus HAM Timor Leste dan Tanjung Priok.

Baca juga : Setara: Di Era Jokowi, Pemerintah Masih Abaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

"Ini adalah bukti bahwa penyelesaian kasus HAM ini mudah kalau ada kemauan politik dari kepala negara. Dan hari ini ada ambiguitas atau ketidakcocokan perkataan dan perbuatan oleh Presiden Joko Widodo," cetusnya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Demokrasi, Hukum dan HAM, Kamis (28/12).

Kondisi tersebut juga dinilainya sebagai ironi karena pada masa kekuasaan awal Jokowi pada 2014, isu penyelesaian kasus HAM masuk dalam dokumen politik prioritas Nawacita secara berkeadilan dan bermartabat.

"Ini artinya harusnya penyelesaian kasus ham jadi prioritas politik dari kepala negara untuk diimplementasikan. Tapi dalam 9 tahun terakhir Jokowi hanya berhasil membuat satu pengadilan HAM itu pun kasus yang terjadi bukan di era Orba yakni kasus yang terjadi di Paniai di Papua 2014. Dari situ kita melihat ada ketidaksungguhan dari presiden untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan," cetusnya.

Baca juga : Sejarawan: Rumoh Geudong Termasuk Situs Sejarah Aceh

Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus HAM berat dalam dua periode kekuasaannya, pada 2022-2023 Jokowi justru melahirkan upaya penyelesaian yang tidak berkeadilan, yakni kebijakan nonyudisial.

"Yang kami lihat ini merupakan satu lompatan drastis tidak berkeadikan. Kasus HAM yang hanya menawarkan dua argumentasi pertama kompensasi dan penyelesaian secara kilat. Lalu di mana diksi berkeadilan dan bermartabat yang dijanjikan oleh presiden? Itu dituliskan dalam dokumen kontrak politik nawacita yang seringkali dibanggakan oleh rezim Jokowi," paparnya. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat