visitaaponce.com

Pola Politik Pemerintahan Jokowi Persulit Penyelesaian Kasus HAM

Pola Politik Pemerintahan Jokowi Persulit Penyelesaian Kasus HAM
Poster aktivis yang diduga dibunuh dalam pelanggaran HAM berat.(Antara/Fauzai)

PARA pasangan calon capres dan cawapres dinilai masih akan kesulitan dalam menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu jika masih menggunakan pola yang sama pada setiap pemerintahan. Wakil Indonesia Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) Dinna Prapto Raharja mengatakan dari penjelasan yang disampaikan tim pasangan calon belum ada yang sepenuhnya menjawab langkah konkret dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sulitnya menuntut para paslon tentang penuntasan tersebut karena ada tiga faktor politik yakni politik anggaran, politik kabinet dan politik media sosial.

"Kita tidak pernah tahu nanti kalau mereka berkuasa seperti apa. Dan saya sampaikan tadi konteks, kita masih tersandera oleh tiga hal, politik anggaran, politik kabinet, sama politik sosmed. Kalau paslon ini masih mengulang pola yang sama pada era Jokowi maka akan sama saja. Siapapun yang menang nanti pasti ada transaksi dengan partai koalisi sehingga yang jadi substansi bisa bergeser tidak menjadi substansi," jelasnya.

Dalam diskusi HAM dan Diplomasi Internasional Agenda Untuk Indonesia, Sabtu (6/1) Dinna memaparkan pola yang dilakukan pemerintahan Jokowi dalam menuntaskan kasus HAM. Jokowi disebut lebih banyak melakukan pencitraan bahkan gimik di media sosial untuk memunculkan kesan telah terjadi progres capaian di bidang HAM dan di bidang diplomasi.

Baca juga: Aktivis Reformasi 1998: Pelanggar HAM dan Neo Orba Ancam Indonesia Emas

"Padahal itu semata forum event atau gimmick atau kesempatan pertemuan. Jadi sebenarnya progres itu sangat kecil tapi ngomongnya sekarung atau kemudian formatnya dibuat sedemikian rupa seakan Indonesia memimpin (secara internasional) Indonesia punya inisiatif yang diinisiasi luar biasa itu berlebihan sekali," tegasnya.

Dia mencontohkan salah satu pencitraan di mata dunia yakni saat kita menang dewan HAM. Pada kenyataannya yang menjadi lawan merupakan negara-negara yang tidak punya kredibilitas.

"Pasti kita yang dapat, bagus kita dapat karena kita jelas punya keinginan ke sana tapi kemudian jangan generasikan bahwa kita akan hebat dari yang lain itu salah," ujarnya.

Dalam situasi ini maka pesan pentingnya bahwa Indonesia punya prioritas apa untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu. Seperti dalam menyikapi konflik Palestina dan Rohingya dengan membangun narasi dukungan kemanusian walau sebetulnya pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa.

Baca juga: Jokowi Dinilai Ciptakan Imunitas bagi Pelaku Pelanggar HAM

"Orang sampai akhirnya bisa punya narasi Indonesia dari kemarin cuma sok berperikemanusiaan saja ikut forum ini forum itu, padahal sebenarnya kita tidak bisa atau tidak mampu," cetusnya.

Dengan demikian jauh lebih mudah untuk politisi atau presiden terpilih berikutnya melanjutkan yang lalu karena itu sudah sangat sering dipraktikkan. Selain itu isu HAM sangat mudah hilang sebab perilaku pemerintah kita lebih mengedepankan citra melalui forum pertemuan dibandingkan serius menyelesaikan kasus HAM melalui jalur hukum.

"Makanya saya bilang kita harus jauh lebih cermat kalau mereka masih mengulang pola yang sama sangat terlalu manis di janjinya tanpa bicara soal realitas jaraknya besar sekali antara di lapangan di masyarakat dengan yang mampu dilakukan pemerintah"

Kritik juga disampaikan penyintas penculikan 1998 sekaligus penasihat Ikohi Mugiyanto. Ukuran ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu salah satunya tidak memasukan pelaku kasus HAM masa lalu ke dalam politik atau pemerintahan yang baru.

"Ini yang belum pernah dilakukan oleh presiden siapa pun di kita. Lalu pemerintah harus berani bersepakat untuk meningkatkan diri kalau ada yang punya persoalan HAM kita persilahkan ke peradilan internasional. Dan salah satu jalan menuju ke sana mengikatkan diri ke standar global dan kita meratifikasi soal mahkamah pidana internasional supaya pengadilan HAM kita di nasional tidak lagi gagal," jelasnya.

Hal ini menjadi ukuran komitmen dan keberhasilan sekaligus menjadi pembeda. Kemudian ukuran untuk lebih serius menyelesaikan kasus HAM yakni menangani serius korban pelanggaran HAM berat. Cara yang dilakukan Jokowi masih bersifat singkat karena cara yang komprehensif belum bisa memungkinkan.

"Ke depan harus dibuat yang lebih komprehensif tapi dalam jangkauan capres. Kalau kita bicara UU anti penghilangan paksa itu tidak dibentuk karena DPR di luar kendali presiden. RUU itu sudah lama diserahkan presiden ke DPR tapi hingga kini belum juga dibahas," ungkapnya.

Juru bicara Timnas Amin, Amiruddin Alrahab mengatakan akan membuat peradilan HAM. Jaksa agung harus didesak untuk menyelesaikan kasus HAM. Kedua orang terkait tidak boleh masuk ke politik.

"Kita belakangan ini banyak ketemu keluarga korban memang butuh perhatian. Salah satunya yang tidak terdokumentasi. Soal HAM ini berhubungan tentang kepastian soal ranah publik bisa dilindungi jadi bisa dipastikan. Kelemahan kita tidak ada komitmen yang serius sedangkan aturannya ada. Dan itu hanya bisa dilakukan orang yang baru bukan orang yg punya beban masa lalu," tegasnya.

Sedangkan menurut Tim TPN Ganjar- Mahfud Beka Ulung Hapsara penyelesaian HAM masa lalu sudah menjadi komitmen capres nomor 3. Mereka akan memastikan penyelesaian pelanggaran HAM melalui li yudisial dan regulasi dipastikan berjalan dan mengesahkan UU.

"Kami mencoba memberikan jalan penyelesaian yudisial dan non yudisial yang itu ada dalam visi misi kami dan dijelaskan dalam debat," tukasnya.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat