visitaaponce.com

Peninggalan Syiar Islam dari Era Mataram Islam

Peninggalan Syiar Islam dari Era Mataram Islam
Masjid Sulthoni, Wotgaleh, Kecamatan Berbah, Sleman.(MI/ARDI TERISTI HARDI)

SEBUAH masjid tampak berdiri kukuh di antara kebun tebu di Kelurahan Sendangtirto, Sleman. Dari arsitektur bangunannya, masjid tersebut tampak telah berusia tua dengan sebuah pohon beringin yang diberi nama Hesti Luhur di bagian depan serta kompleks makam di sisi selatan bangunan tersebut. Ini ialah salah satu masjid tertua di Yogyakarta yang masih berdiri, yakni Masjid Sulthoni Wotgaleh.

Masjid yang didirikan sekitar tahun 1592 M ini merupakan salah satu peninggalan syiar Islam era Mataram Islam yang masih terjaga hingga kini. Masjid ini juga tidak dapat dipisahkan dari sosok Jaka Umbaran yang bergelar Pangeran Adipati Purbaya 1. Menurut silsilahnya, ia merupakan putra dari pendiri Kerajaan Mataram Islam, Danang Sutawijaya, yang bergelar Kanjeng Panembahan Senapati Ing Alaga Mataram dan Niken Purwasari (Rara Lembayung).

Pasalnya, di samping masjid tersebut ada sebuah kompleks makam yang diberi nama Hastono Wotgaleh tempat Panembahan Purbaya I dan kerabatnya dimakamkan, seperti Pangeran Purbaya II, Purbaya III, Rara Lembayung, dan Kyai Wirasaba. Masjid ini dikenal sebagai Masjid Pathok Negoro Kerajaan Mataram Islam. Nama masjid yang dalam bahasa Indonesianya jembatan hati ini memiliki fungsi religi dan fungsi pertahanan rakyat atau batas terluar wilayah kerajaan.

Ketua Takmir Masjid Sulthoni Wotgaleh, Bidron Darsono, 59, menceritakan keberadaan masjid dan makam Wotgalehlah yang membuat rencana pembangunan landasan pacu pesawat, yang kini Lanud Adisucipto, berubah.

Cerita yang disampaikan turun-temurun, dulu zaman Jepang, landasannya ingin dibangun dari utara ke selatan karena lokasinya yang berada di tengah-tengah sungai, tetapi urung dilakukan karena keberadaan masjid dan makam Wotgaleh. Akhirnya landasan bandara dibuat membentang dari timur ke barat.

Hingga kini Masjid Sulthoni Wotgaleh berfungsi untuk tempat beribadah dan menyebarkan syiar Islam seperti masjid-masjid pada umumnya. Pada sepuluh hari sebelum Ramadan, Sadranan Agung diselenggarakan di Masjid Sulthoni Wotgaleh. Masjid ini juga banyak dikunjungi oleh banyak peziarah dari berbagai daerah. "Kegiatan selama bulan Ramadan ada buka bersama, salat tarawih, tadarusan, dan pengajian rutin," kata Bidron.

Dari sisi bangunan, Bidron menyampaikan banyak bagian dari bangunan Masjid Wotgaleh masih mempertahankan keasliannya. Misalnya, empat sakaguru yang menopang bagian atap beserta umpaknya masih dalam kondisi  asli. Bagian pintu dan jendela masih menggunakan komponen asli. (AT/H-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat