visitaaponce.com

Pukau Tarian Nusantara dalam Gugur Gunung Tri Kala

GERAK tubuh yang lugas dengan dada dibusungkan, tangan dan kaki bergerak cepat dan cekatan, hingga mata menatap dengan tajam menampilkan kegagahan dan berwibawanya seorang ksatria. Delapan tubuh bergerak mengikuti alunan musik dengan tempo cepat disambut dengan permainan sorot lampu, membuat mata Media Indonesia terpaku ke atas panggung.

Empat penari membawa payung biru besar dan empat lagi membawa kipas bercorak warna keemasan yang menawan. Adegan demi adegan dilalui dengan baik hingga tiba di pertengahan, tarian tampak menegangkan sebab adanya adegan saling menyerang di antara mereka.

Tak lama setelah itu, rasa tegang mereda ketika seorang penari berada di atas "awan" memandangi wilayahnya. Ada pula, momen di mana penari tertawa bersama yang membuat pengunjung ada yang tertawa hingga ada pula yang merasa heran. Kedelapan penari berhasil membuat seluruh pengunjung terpesona dengan tampilan mereka yang gagah di atas panggung.

Siapa sangka, tak semua di atas panggung adalah laki-laki, melainkan ada dua perempuan yang berada di atas panggung. Meski begitu, kedua perempuan ini berhasil tampil dengan apik dan menari serta berekspresi layaknya laki-laki pemberani dan gagah perkasa.

"Kami ada delapan orang, ada enam laki-laki dan dua perempuan," ujar Baim Panji Indra, salah satu penari Tari Satya Brasta, saat ditemui Media Indonesia di acara Omah Wulangreh Gugur Gunung Vol. 2 "Tri Kala" di Usmar Ismail Hall, Jakarta, Minggu (26/11).

Baim bersama tujuh penari lainnya membawakan Tari Satya Brasta. Kreasi I Nyoman Cerita pada 1989. Semula tarian ini diciptakan sebagai prasyarat untuk meraih predikat Sarjana Seni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar. Tari ini kemudian mengalami perkembangan menjadi pertunjukan pariwisata.

Tarian ini menceritakan tentang kepahlawanan Gatot Kaca dalam perang Baratayudha, kemudian diakhiri dengan gugurnya Gatot Kaca oleh senjata Konta milik Adipati Karna. Para penari Satya Brasta ini tampil dengan gerakan gagah dan berwibawa khas tari bebarisan, diiringi gamelan gong kebyar (tempo cepat). Penampilan mereka diperunik sejumlah properti payung dan kipas berukuran masif yang digunakan untuk membentuk citra tombak, kereta kuda, maupun awan.

Tari Satya Brasta merupakan bagian dari pertunjukan Gugur Gunung Vol. 2 "Tri Kala" yang diselenggarakan oleh Wulangreh Omah Budaya. Adapun Gugur Gunung merupakan "ajang pamer" komunitas seni budaya yang beranggotakan ratusan orang tersebut.

Beberapa anggota komunitas termuda turut ambil bagian dalam Gugur Gunung Vol. 2 dengan menampilkan Tari Pendet. Diiringi suara gamelan, tiga penari cilik yang masing-masing membawa bokor dengan bunga tabur dan dupa, bergerak dengan percaya diri di tengah panggung yang tampak luas dibandingkan tubuh-tubuh mungil mereka. Lirikan tajam, hentak kepala dan tangan yang lincah membuat penonton terpikat dengan penampilan mereka yang menggemaskan.

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadah umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

Ada pula penampilan sembilan penari wanita yang tampak tangguh, ada yang membawa panah, dan ada pula membawa keris. Permainan selendang yang lembut ditarik oleh tangan penari yang mengikuti hentakan alunan musik, dipercantik dengan gerakan jari-jari tangan yang lentik dan gerakan tubuh yang tegas menampilkan ketangguhan wanita namun di sisi lain juga tetap menampilkan sisi feminin dan elegan wanita. Sembilan penari ini membawakan Tari Srikandi Larasati di atas panggung.

Tari Srikandi Larasati menggambarkan sosok perempuan-perempuan tangguh, pandai memanah, hingga bertarung dengan keris. Tarian ini merupakan tari yang terinspirasi dari cerita Srikandi Meguru, yang antara lain mengisahkan adu tanding kesaktian antara Dewi Srikandi dan Dewi Larasati.

Dalam pertunjukan Gugur Gunung yang kali ini menampilkan 25 tarian dan gending, Omah Wulangreh memilih tema besar "Tri Kala", artinya pembabakan waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.

"Kenapa ambil tentang waktu ini, karena sesungguhnya semua orang terikat dengan waktu. Masing-masing dari kita pasti punya masa lalu, dan saat ini di masa kini kita punya waktu untuk menyongsong masa depan," ujar Pamong Omah Wulangreh, Reny Ajeng.

Reny berharap, acara ini bisa menjadi jejak merayakan hidup dalam satu waktu. Sebab, hidup memiliki keterbatasan waktu. Dari keterbatasan itulah, Omah Wulangreh memilih untuk memayu hayuning bawano, artinya memperindah dunia yang sudah indah.

"Maksudnya, menjaga yang sudah indah dari masa lalu, menanam yang indah di masa kini, dan semoga yang indah ini bisa dinikmati oleh generasi mendatang," kata Reny lagi.

Istilah Gugur Gunung sendiri dalam keseharian Jawa berarti kegiatan gotong-royong yang dilakukan untuk kepentingan bersama, tanpa mengharapkan imbalan. Istilah tersebut dipilih untuk menggambarkan semangat kerja sama kolektif dalam menyiapkan kegiatan yang melibatkan 215 penampil itu. Adapun jenis tarian yang ditampilkan antara lain Tari Bali Putri, Tari Dayak, Tari Jawa (Surakarta), Tari Betawi, Tari Sumatra Utara, dan Tari Jawa Timuran. Ada pula penampilan gending yang diiringi oleh gamelan Bali.

Menggandeng UMKM

Seperti tahun sebelumnya, Gugur Gunung Omah Wulangreh kali ini juga menyertakan sejumlah UMKM (usaha mikro kecil menengah) lewat ajang Pasar Minggu Pahingan. Pasar Minggu Pahingan adalah sebuah bazar yang biasa digelar setiap Minggu Pahing atau setiap 35 hari sekali berdasarkan kalender Jawa.

Pasar Minggu Pahingan diinisiasi Omah Wulangreh sejak 2019. Tidak hanya diikuti produk-produk makanan dan minuman, Pasar Minggu Pahingan juga dimeriahkan oleh produk-produk fesyen dan kain nusantara.

"Lewat Pasar Minggu Pahingan ini, kami berharap dapat menjadi wadah bertemunya pembeli dan penjual. Sehingga ikut mendorong perputaran roda perekonomian masyarakat," jelas Reny.

Berlokasi di Jakarta Selatan, Omah Wulangreh terus berupaya menawarkan alternatif untuk mempelajari kekayaan tradisi budaya Indonesia. Selain menjadi wadah peleburan seni, budaya, sejarah dan aktivitas spiritual, ia juga memiliki visi mempromosikan sekaligus melestarikan keragaman budaya Indonesia. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat