Pertemuan G20 di Bali Harus Lahirkan Kesepakatan Ketersediaan Pangan
INDONESIA perlu meningkatkan fungsi kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga. Hal ini penting untuk menjaga ketersediaan pangan nasional di balik ancaman krisis pangan global.
Hal itu diungkapkan dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Ronnie S Natawidjaja. Menurut Ronnie, pertemuan G20 di Bali pada 15-16 Nopember mendatang harus dapat melahirkan kesepakatan-kesepakatan strategis dalam menjaga ketersediaan pangan.
"Kesepakatan antarnegara harus dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan ke depan. Fungsi kerja sama bilateral harus ditingkatkan lagi," kata Ronnie ketika dihubungi, Jumat (28/10).
Di sisi lain, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam banyak negara di dunia. Kolaborasi memungkinkan memitigasi dan mengatasi triple krisis yakni krisis energi, pangan, dan keuangan.
Syahrul menjelaskan, sebagai bagian dari komunitas global, G20 berkomitmen mendukung peran krusial dari sektor pertanian dalam menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang. Ini juga menjamin pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam berbagai kesempatan, Syahrul berulang kali menegaskan bahwa kunci mengatasi krisis pangan global ialah kebersamaan. "Tidak boleh ada negara yang terlewatkan dan tertinggal. Kolaborasi menjadi kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang," tegas Syahrul.
Sistem barter
Ronnie menjelaskan, kerja sama bilateral itu bisa diwujudkan dalam sistem barter. Masing-masing negara memberikan yang terbaik dari miliknya.
"Misal, Indonesia banyak produksi buah, lalu Australia banyak memproduksi gandum. Ini bisa saling tukar, barter. Jadi, stok (pangan) aman dan harga pun bisa dikontrol," jelas Ronnie.
Indonesia, kata dia, tak perlu memaksakan diri untuk menghasilkan komoditas tertentu yang memang tidak bisa diproduksi secara maksimal. Sebaliknya, Indonesia mesti meningkatkan potensi yang ada untuk kemudian dijadikan komoditas unggulan.
Ronnie mengambil contoh komoditas kedelai. Dikatakannya, faktor geografis, yaitu penyinaran matahari, membuat produksi kedelai nasional tidak mampu mengimbangi produksi kedelai dari Tiongkok.
"Kedelai kita itu wangi dan bulirnya besar tetapi butuh penyinaran yang lama. Penyinaran bisa dibantu oleh penggunaan lampu di green house, tetapi dijualnya mahal nanti. Sudah kita pakai kedelai dari Tiongkok, lalu kita kasih yang Tiongkok butuhkan yang ada di kita. Itu namanya memaksimalkan potensi kerja sama bilateral," ungkapnya.
Ronnie juga mencontohkan komoditas gandum yang bisa didapat dari Australia. Menyusul krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pasokan gandum ke Indonesia menjadi terhambat. "Harganya pun naik 35% dan sepertinya akan naik lagi. Kita bisa minta Australia untuk support kebutuhan gandum kita," pungkasnya. (RO/OL-14)
Terkini Lainnya
Sistem barter
Kadar Bromat Jangan Melebihi Ambang Batas
Badan POM-BRIN Kaji Pemanfaatan AI untuk Pengawasan Pangan Olahan
Pemerintah Cari Solusi untuk Tingkatkan Perekonomian Kabupaten Seluma
Pemerintah Tekan Inflasi Komponen Harga Bergejolak sejak Tengah 2022
Ancaman Kekeringan terhadap Sektor Pangan harus Segera Dimitigasi
Inflasi Turun, Langkah Mitigasi tetap Dilakukan
Sri Lanka Barter Teh Ceylon dengan Minyak Iran Senilai Rp3,8 Triliun
Barter Tahanan, Rusia Bebaskan Bintang Bola Basket AS Brittney Griner
Lingkungan Perempuan Pancasila
Perang Melawan Judi Online
Ujaran Kebencian Menggerus Erosi Budaya
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap