visitaaponce.com

Anggaran Kereta Cepat Membengkak Bukti RI Masuk Jebakan Utang Tiongkok

Anggaran Kereta Cepat Membengkak Bukti RI Masuk Jebakan Utang Tiongkok?
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta Timur.(ANTARA/Galih Pradipta)

PROYEK kereta cepat Jakarta-Bandung kini menjadi sorotan publik. Program ambisius yang dicanangkan pemerintahan Jokowi pada 2015 tersebut menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari target pembangunan yang molor sampai bengkaknya biaya pembangunan yang menyebabkan Indonesia harus menambah utang ke China Development Bank.

Proyek ambisius yang memiliki nilai investasi sebesar US$6,07 miliar itu dikerjakan PT KCIC atau PT Kereta Cepat Indonesia China. 

Baca juga: Wamen BUMN Minta Stasiun Kereta Cepat Jadi Pusat Aktivitas Warga

Perusahaan tersebut merupakan perusahaan patungan antara konsorsium badan usaha milik negara Indonesia (BUMN) melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd, dengan bisnis utama di sektor transportasi publik dengan skema business-to-business (B2B). Melalui skema ini PT KCIC beroperasi dan bertanggung jawab untuk menjalankan pembangunan sampai operasional kereta cepat di Indonesia.

Pertama di Indonesia

Proyek kereta cepat yang dicanangkan Presiden Jokowi ini, jika dapat dioperasikan pada 2023, merupakan terobosan terbaru dalam dunia perkertaapian Tanah Air. 

 

Bahkan, rencananya, kereta yang dihadirkan menggunakan kereta generasi terbaru, yaitu CR400AF. Kereta ini direncanakan beroperasi pada rel yang membentang dari Jakarta sampai Bandung dengan panjang lintasan mencapai 142,3 km. 

Baca juga: Erick Pastikan Proyek Kereta Cepat tak Mangkrak

Kereta ini direncanakan berhenti di empat stasiun, yaitu Stasiun Halim, Stasiun Karawang, Stasiun Padalarang, dan Stasiun Tegalluar yang sekaligus berfungsi sebagai depo. 

Pada awalnya, kereta cepat tersebut direncanakan beroperasi pada 2022. Namun, karena berbagai kendala, rencana operasional kereta akhirnya mundur pada 2023.

Jika sudah beroperasi, kereta cepat ini diperkirakan dapat menyediakan fasilitas untuk mobilitas warga Jakarta dan Bandung. Bagaimana tidak? Perjalanan Jakarta-Bandung (pergi-pulang) diperkirakan dapat ditempuh dengan waktu hanya 30 menit. 

Pada masa uji coba atau trial test, kereta cepat beroperasi dengan kecepatan 80 km/jam. Nantinya jika telah berfungsi secara penuh, kereta cepat ini dapat mencapai kecepatan 350 km/jam

Bukan tanpa masalah

Kehadiran kereta cepat pada jalur Jakarta-Bandung ini bukan tanpa masalah. Sejumlah problem juga muncul, mulai keterlambatan penyelesaian konstruksi kereta cepat yang harus mundur setahun sampai pembengkakan biaya yang membuat pemerintah harus kembali berutang pada China Development Bank. 

Biaya pembangunan kereta cepat yang awalnya direncanakan menelan dana Rp86,67 triliun kemudian membengkak menjadi Rp114,24 triliun. 

Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah kembali berutang pada China Development Bank sebesar Rp8,3 triliun. Dari sinilah dimulai permasalahan baru dalam proyek tersebut.

Pemerintah Tiongkok kemudian menyetujui pinjaman Indonesia dengan bunga 3,4% dan tenor 30 tahun. 

Pemerintah Indonesia tidak pasrah begitu saja menerima bunga yang diajukan Tiongkok. Menteri Koordinator Bidang Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan sempat melakukan negosiasi agar bunga tersebut turun menjadi 2% dan tenor menjadi 40 tahun. Namun, negosiasi itu gagal dan Tiongkok tetap memberikan bunga 3,4% kepada Indonesia. 

Bahkan, menurut Luhut, Tiongkok sempat meminta APBN menjadi jaminan pembayaran utang. Namun, usulan ini kemudian ditolak mentah-mentah oleh Luhut karena dinilai berbahaya bagi Indonesia.

Berkaca dari Sri Lanka

Jebakan utang dalam proyek mercusuar Tiongkok ini sepertinya sudah tidak asing didengar. Tiongkok, dalam beberapa tahun belakangan, sering sekali memberikan pinjaman kepada negara berkembang dalam proyek infrastruktur. Tentunya hal ini tidak diberikan secara cuma-cuma oleh ‘Negeri Tirai Bambu’ tersebut. 

Bunga utang yang tinggi serta tenor pelunasan utang yang sempit menjadi cara Tiongkok mengakali utang yang diberikan kepada negara-negara berkembang.

Jebakan ini yang sebelumnya sempat terjadi di Sri Lanka. Pelabuhan Internasional Hambantota yang terletak di sepanjang pantai selatan Pulau Samudra Hindia merupakan proyek yang dibiayai pinjaman dari Tiongkok. Kini, pelabuhan tersebut sudah diambil alih oleh Tiongkok dengan kepemilikan saham sebesar 80%. Hal ini disebabkan Sri Lanka tidak mampu membayar utang kepada Tiongkok sebesar US$1,1 miliar. 

Jeratan utang tersebut kemudian menjadi celah bagi Tiongkok untuk menguasai pelabuhan yang dibangun di negeri orang. Apalagi, karena posisi pelabuhan tersebut yang strategis, pengambilalihan ini tentunya sangat menguntungkan secara ekonomi bagi Tiongkok. 

Sri Lanka kemudian harus rela melihat terdapat pelabuhan asing yang dioperasikan negara lain selama 99 tahun di negaranya dan kedaulatannya.

Alarm bagi pemerintah

Kondisi di Sri Lanka seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia. Pelajaran penting yang dapat diambil harus diaplikasikan dalam negosiasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang telah mengalami masalah sejak awal. Apalagi, skema yang terjadi hampir mirip dengan yang terjadi di Sri Lanka.

Pemerintah harus wawas diri dan meningkatkan kewaspadaan jika dirasa proyek ini justru akan melemahkan posisi Indonesia, apalagi jika Tiongkok sudah berani meminta jaminan APBN yang tentunya tidak ada di kesepakatan awal. 

Hal itu berbahaya karena saat ini APBN Indonesia sudah dibebani pula oleh proyek ambisius lainnya, yaitu Ibu Kota Nusantara. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat