visitaaponce.com

FSPMI Minta Pemerintah Lindungi Industri Baja Nasional

FSPMI Minta Pemerintah Lindungi Industri Baja Nasional
Ratusan buruh yang tergabung dalam FSPMI menggelar aksi unjuk rasa meminta pemerintah untuk melindungi perusahaan baja nasional.(Ist)

FEDERASI Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) meminta pemerintah menghentikan keran impor baja dan menindak tegas perusahaan yang menyelundupkan impor baja. Pasalnya, keberadaan baja impor terutama dari Tiongkok amat mengkhawatirkan karena dijual sangat murah.

“Sekitar 100 ribu anggota kami dari FSPMI di Indonesia terancam. Baja impor dijual amat murah lantaran diduga masuk ke pasar dalam negeri dengan cara unfair trade seperti dumping dan pengalihan pos tarif."

"Industri dalam negeri terancam hancur dan terjadi PHK massal. Ini amat serius. Kami harap pemerintah memperhatikan nasib kami,” kata Sekjen DPP FSPMI Sabilar Rosyad dalam keterangan tertulisnya, hari ini.

Baca juga: Ini 5 Strategi untuk Kemandirian Industri Baja Nasional

Karena itu, kata Rosyad, pekan ini ratusan buruh yang tergabung dalam FSPMI menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Perdagangan dan Kantor Kementerian Perindustrian.

“Kami resah, termasuk para anggota kami yang tersebar di sekitar 250 perusahaan di seluruh Indonesia. Kami membutuhkan kehadiran pemerintah untuk melindungi perusahaan baja nasional. Jika tidak, dampaknya para pekerja, dan nasib anak istri kami,” ujarnya.

Terkait itu, FSPMI mengajukan lima tuntutan ke pemerintah. Pertama, stop kebijakan impor baja. Kedua, jangan buka keran impor. Ketiga, pakailah produk dalam negeri yang bersertifikat dan TKDN (tingkat komponen dalam negeri).

"Keempat, tindak tegas oknum yang bermain impor baja. Terakhir, tindak tegas perusahaan yang melakukan penyelundupan impor baja,“ tegasnya.

Baca juga: Gunung Prisma Dorong Penerapan Ekonomi SIrkular di Industri Baja

Ia menjelaskan dari data periode 2017-2019, impor produk baja naik signifikan. Pada periode Januari-November 2022 misalnya, mencapai hampir 6.000 ton, naik 6,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Masalahnya impor itu mengisi pangsa pasar yang diisi produk baja dalam negeri, sehingga semakin menurunkan tingkat utilisasi industri baja dalam negeri yang masih rendah, yaitu rata-rata hanya 40%,” ujar Rosyad.

Parahnya lagi, produk baja impor itu tidak bersertifikat SNI, atau sertifikat lain sehingga kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Karena tidak ada sertifikat, harga jualnya murah, beda dengan produk baja dalam negeri yang memiliki sertifikat SNI dan TKDN,” ujar Rosyad.

Rosyad menambahkan, baja Tiongkok juga berdampak negatif pada lingkungan. “Beberapa produsen baja di Tiongkok terlibat praktik industri tidak ramah lingkungan (penggunaan blast furnace dan induction furnace),” kata dia. 

Baca juga: Strategi ARFI untuk Pacu Produktivitas Industri Baja Ringan Tanah Air

Ia juga mengingatkan praktik impor baja mengganggu kestabilan industri baja dalam negeri. Untuk itu, Rosyad berharap pemerintah memberlakukan kebijakan trade remedies seperti negara-negara lain.

Rosyad menekankan produk baja global kini memang berkelebihan. Sebagai gambaran, produksi global mencapai 563 juta ton atau setara dengan 35x kebutuhan baja Indonesia pada 2022 (data OECD).

Dalam kondisi demikian, terdapat dugaan kelebihan produk baja global itu akan 'dibuang' ke Indonesia.

“Kami berharap kepada pemerintah, agar tidak merevisi PP No 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Kalau impor dibebaskan, dan tidak dibatasi pada jenis tertentu, industri baja nasional bakal hancur,” tutupnya. (RO/S-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sidik Pramono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat