visitaaponce.com

Pengusaha Ungkap Beberapa Faktor Penyebab Indeks PMI Manufaktur Melemah

Pengusaha Ungkap Beberapa Faktor Penyebab Indeks PMI Manufaktur Melemah
Ilustrasi: Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek Smelter Freeport di kawasan Java Integrated and Industrial Port Estate (JIIPE)(Antara )

KETUA Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengungkapkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri manufaktur pada saat ini, hingga hal tersebut menyebabkan hasil survei Purchasing Managers' Index (PMI) mengalami perlambatan.

Shinta mengatakan, penyebab yang pertama ialah karena industri manufaktur pada saat ini belum merasakan adanya peningkatan demand pasar domestik yang signifikan pasca Ramadhan-Idul Fitri. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat dan kurangnya lapangan kerja baru.

"Ini kemungkinan disebabkan oleh efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat yang ditambah dengan lambatnya penciptaan lapangan kerja baru karena iklim usaha yang relatif stagnan dan tidak memiliki banyak stimulasi untuk perluasan investasi secara agresif," kata Shinta kepada Media Indonesia, Jumat (16/6).

Baca juga: Ekonomi RI Diprediksi Tumbuh 5,07%, Didorong IKN dan Pemilu 2024

Shinta melanjutkan, yang kedua disebabkan oleh dinamika pasar global yang juga tidak mendukung perluasan kinerja sektor manufaktur nasional karena demand ekspor atas produk manufaktur masih terus terkontraksi, khususnya pasca technical recession di Jerman dan pelebaran defisit APBN Amerika Serikat yang meningkatkan indikasi krisis ekonomi global.

Kemudian pada saat yang sama, lanjut Shinta, beban produksi manufaktur juga tergolong tinggi karena harga komoditas global dan nilai tukar yang masih relatif tinggi, ditambah faktor domestik seperti kesulitan memperoleh bahan baku manufaktur impor, beban suku bunga dan beban tenaga kerja yang tidak murah.

Baca juga: Isu Gagal Bayar AS, Dunia Usaha tak Ambil Pusing

"Hal-hal inilah yang secara keseluruhan menyebabkan pelaku usaha di sektor manufaktur sangat enggan melakukan ekspansi produksi yang sifatnya agresif dalam jangka pendek. Karena resiko kerugian akan lebih tinggi bila output produksi tidak diserap pasar," tuturnya.

Lebih lanjut, Shinta mengatakan, dalam hal ini terdapat beberapa cara agar confidence di sektor manufaktur kembali meningkat. Diantaranya adalah dari sisi supply perlu dilakukan peningkatan, mulai dari sisi efisiensi biaya, daya saing iklim usaha, investasi dan kemudahan supply chain produksi.

"Tentunya ini harus ada perubahan regulasi atau reformasi birokrasi yang lebih lanjut atau lebih signifikan konsistensi implementasinya di lapangan sesuai dengan ekspektasi yang diberikan melalui regulasi tertulis," ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, untuk meningkatkan sektor manufaktur tersebut juga dapat dilakukan melalui stimulus ekspansi usaha atau stimulus konsumsi.

Shinta menjelaskan, untuk stimulus usaha bisa dilakukan dengan memberikan fasilitasi kepada perusahaan untuk melakukan produksi maupun ekspor. Misalnya, dengan perluasan pinjaman usaha atau export financing yang affordable, peningkatan fasilitasi penetrasi pasar ekspor baru/non-traditional market, dan pemberian insentif pemutakhiran teknologi produksi atau modernisasi di sektor-sektor hulu manufaktur yang selama ini kurang produktif.

"Sedangkan, untuk stimulus konsumsi bisa dilakukan dengan percepatan distribusi subsidi yang lebih tepat atau menghidupkan kembali program stimulus konsumsi sepanjang Pandemi. Namun, ini juga perlu dikontrol agar tidak bablas dan menciptakan peningkatan inflasi domestik dalam jangka pendek," pungkasnya. (Fik/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat