visitaaponce.com

BRIN Era Mobil Bertenaga Hidrogen Mulai di 2030

PENELITI senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ganesha Tri Chandrasa menyampaikan kendaraan listrik berbasis bahan bakar hidrogen atau hydrogen fuel cell electric vehicle (FCEV) dapat diproduksi di dalam negeri pada 2030.

Ia menyebut saat ini pemerintah bersama stakeholders tengah mengembangkan kendaraan listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) yang berbahan baku dari nikel.

"Dalam peta jalan transisi energi, penggunaan hidrogen baru ditargetkan di 2030. Kalau sekarang FCEV belum jalan atau diproduksi," ujarnya Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) BRIN, Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (27/7).

Baca juga: Ini 5 Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Membeli Kendaraan Listrik

Ganesha mengatakan BRIN telah membuat prototipe FCEV. Saat di Lab Produksi Green Hidrogen, ia menunjukkan model FCEV berbasis mobil golf bermesin berbasis fuel cell dengan spesifikasi 2,5 kilowatt (kW) polymer electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) dan motor penggerak 48VDC/3,7 kW. Produk tersebut, katanya, tidak dapat dikomersialkan untuk saat ini.

Peneliti senior itu menjelaskan pemakaian FCEV dinilai lebih unggul dibandingkan dengan BEV, mulai dari jangkauan berkendara yang bisa lebih jauh dan tidak memakan waktu pengecasan yang lama dibandingkan dengan mobil listrik berbasis baterai.

Baca juga: Kemenperin Segera Evaluasi Kebijakan Bantuan Motor Listrik

"Satu kali pengisian baterai FCEV itu bisa mencapai jarak hingga 500 kilometer (km), sedangkan BEV hanya mampu 250 km. Pengecasan hidrogen pun hanya lima menit, kalau baterai bisa berjam-jam," ungkapnya.

Dari segi harga, lanjut Ganesha, memang harga jual mobil listrik berbahan hidrogen pada umumnya lebih mahal dibandingkan dengan mobil listrik berbasis baterai. Contohnya dengan merek Hyundai, yang dibanderol mobil hidrogen ix35 hingga US$100 ribu per unit atau mencapai Rp1,5 miliar. Sedangkan, Hyundai IONIQ 5 mencapai Rp800 jutaan.

 

Energi Surya

Selain hidrogen, kontributor transisi energi lainnya penggunaan energi surya. Sebelumnya, dalam pameran tahunan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Indosolar Expo 2023 di Jakarta, Rabu (26/7), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai energi surya memiliki prospek yang baik dalam percepatan capaian energi terbarukan. Selain memiliki sumber energi matahari yang besar, Indonesia disebut mempunyai banyak lahan dan sumber lainnya dalam pengembangan energi surya.

"Indonesia memiliki potensi mineral dan bahan penting untuk pembangkit listrik tenaga surya yang memainkan peran penting dalam transisi energi," ucapnya dalam keterangan resmi.

Ia menambahkan diperlukan penciptaan pasar yang besar agar bisa menggaet lebih banyak investor. 

"Kalau bisa menciptakan pasar, akan mudah menarik investor membangun industri ini," sebutnya.

Selain itu, lanjut Arifin, aspek kemudahan akses pembiayaan terjangkau, insentif, dan fasilitas pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi penting untuk menyediakan pembiayaan studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan seperti energi surya.

Kerja sama dengan perbankan, lanjutnya, dengan bunga rendah juga dibutuhkan untuk mendorong investasi PLTS di Tanah Air.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menegaskan energi surya menjadi pilihan yang tepat dalam membantu pemerintah mempercepat dekarbonisasi.

"Ditengah kondisi yang lusuh, kita bisa menyelenggarakan Indonesia Solar Expo 2023 sebagai bukti konsistensi para anggota dalam mewujudkan energi bersih," pungkasnya. (Ins/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat