visitaaponce.com

Imbal Hasil Tinggi AS Picu Potensi Penambahan Beban untuk Indonesia

Imbal Hasil Tinggi AS Picu Potensi Penambahan Beban untuk Indonesia
Ilustrasi(Antara )

TINGGINYA imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (US Treasury) berpotensi menambah beban biaya bagi Indonesia di pasar portofolio dunia. Sebab, mau tak mau pasar bakal mengharapkan imbal yang jauh lebih tinggi dari lembaran surat utang negara lain.

"Tentu saja kalau tinggi terus pasti market akan berekspektasi bahwa nex issuance, rate-nya relatif lebih tinggi, menjadi lebih mahal," ujar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam taklimat media di Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/9).

Itu menurutnya terjadi secara alamiah. Ketika surat utang dari negara seperti AS memiliki tingkat kupon yang tinggi, para investor otomatis akan mengharapkan tingkat kupon yang jauh lebih tinggi dari portofolio negara lain.

Baca juga: Investasi Obligasi Vs Emas Minim Risiko. Mana yang Lebih Cuan?

Hal itu bakal membuat negara-negara berkembang, seperti Indonesia akan merogoh kocek lebih mahal agar investor mau membeli obligasi yang ditawarkan. Kenaikan kupon yang ditawarkan, kata Andry, akan banyak ditemui pada obligasi berdenominasi valuta asing (valas).

"Itu terutama untuk yang valas. Tapi ke depan kalau sentimennya turun, maka cost of borrowing-nya juga akan relatif lebih turun," jelasnya.

Baca juga: Gaji ASN Naik di 2024, Pagu Anggaran Kemenkeu Naik Rp3,7 Triliun

Di kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir mengatakan, pemerintah terus mencermati perkembangan pasar global. Bila itu dinilai cukup memberatkan, maka besaran dari obligasi yang diterbitkan akan diperkecil, begitu pun sebaliknya.

"Kita itu punya fleksibilitas dalam pembiayaan. Itu pengelolaan utang yang terus kita lakukan. Pemerintah bisa melakukan pengadaan pembiayaan tersebut dengan memperhatikan dari sisi waktu issuance-nya, kemudian dari sisi besarannya dan juga dari sisi instrumen apa yang kita keluarkan," jelasnya.

Hal tersebut, kata Riko, sedianya telah dilakukan pemerintah pada triwulan II dan III tahun ini yang memperkecil besaran penerbitan obligasi. Itu karena lembaga pengelola keuangan negara menyadari pelaku pasar obligasi dunia mengharapkan yield tinggi akibat pengaruh arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed).

Selain terus melihat perkembangan pasar uang, fleksibilitas pembiayaan pemerintah juga dapat dilakukan melalui mekanisme pembiayaan non utang. Itu sedianya dapat berasal dari sisa anggaran lebih (SAL), dana investasi pemerintah, hingga Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN.

"Pada saat laporan semester I 2023, kita melakukan optimalisasi pembiayaan non utang. Target pembiayaan utang kita turunkan, sehingga resultanya sudah ditambahkan untuk penerbitan di triwulan III," pungkas Riko. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat