visitaaponce.com

Penurunan Penerimaan Pajak Indikasikan Tekanan Ekonomi

Penurunan Penerimaan Pajak Indikasikan Tekanan Ekonomi
Ilustrasi(Dok MI)

DIREKTUR Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan penurunan penerimaan pajak pada suatu periode tertentu bisa menjadi indikasi adanya tekanan di berbagai sektor ekonomi, termasuk belanja masyarakat. Meski demikian, itu bukan satu-satunya faktor.

Saat ini pemerintah mengubah banyak kebijakan pajak, menurunkan tarif pajak dan memberikan insentif pajak.

"Sehingga secara agregat terjadi penurunan penerimaan, seperti membebaskan pajak barang mewah untuk mobil listrik impor utuh (CBU) dan impor terurai (CKD)," kata Media dihubungi Rabu (28/2).

Baca juga : RI Ketinggalan Adopsi Kendaraan Listrik Dibandingkan Vietnam

Selain itu, ada shifting/ pergeseran yang signifikan dari pekerja formal ke pekerja informal. Tren ini terus meningkat. Pergeseran dari sektor-sektor yang lebih tinggi pajak ke sektor-sektor yang kurang tinggi pajak, telah mempengaruhi penerimaan pajak secara keseluruhan.

"Masalahnya, insentif pajak ini tidak sebanding dengan penguatan investasi di sektor non mineral, yang seharusnya menjadi fokus utama karena berkaitan dengan kesinambungan ekonomi," kata Media.

Memberikan insentif pajak yang berlebihan pada sektor mineral juga sangat problematik, karena bisnis batu bara misalnya, memiliki siklus dan tidak akan selamanya berada pada tingkat produktifitas yang sama.

Baca juga : GM Guyur Dana Insentif EV Senilai Rp1,1 miliar

"Pemerintah justru seharusnya menerapkan windfall tax agar penerimaan pajak Indonesia bisa maksimal untuk membiayai kebijakan perlindungan sosial," kata Media.

Pertumbuhan kendaraan listrik lambat

Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza C. Suryanata berpendapat pertumbuhan kendaraan listrik dan infrastukturnya di Indonesia masih lambat. Meski memang banyak insentif yang ditawarkan untuk pembelian mobil listrik seperti subsidi sekitar Rp70-80 juta.

Namun kondisi infrastruktur pendukungnya seperti stasiun pengisian baterai belum memadai. Hunian seperti apartemen, pusat perbelanjaan, rest area belum semua memiliki stasiun pengisian baterai mobil listrik.

Baca juga : Aturan Konkret Diperlukan untuk Dukung Transisi ke Kendaraan Listrik 

Meski mobil-mobil listrik menawarkan kemampuan berjalan hingga 400 kilo meter sekali baterai penuh, namun kota tujuan belum tentu memiliki stasiun pengisian baterai.

"Itu masih menjadi ganjalan bagi pemilik mobil listrik di Indonesia," kata Liza, pada paparan virtual market outlook 2024.

Hal ini juga terefleksi pada kinerja emiten otomotif Astra Internasional (ASII). Analis Bahana Sekuritas Christine Natasya menjelaskan risiko masih cukup tinggi terutama pemulihan daya beli kendaraan/ alat berat dan peluncuran kendaraan model baru, meski saat ini saham ASII di perdagangkan di price/earning cukup murah, yaitu 6,7x.

Baca juga : Serapan Belanja Rendah Menahun, tak Sehat untuk Perekonomian

ASII mencatatkan laba bersih sebesar Rp 33,9 triliun sepanjang tahun 2023 (+11,5% yoy), setelah mengeluarkan penyesuaian nilai wajar investasi mereka di GOTO dan HEAL (berdasarkan harga penutupan 2023).

Laba bersih segmen otomotif perusahaan turun sebesar 21.8% y-y pada 4Q23, karena marjin laba yang turun atas diskon lebih tinggi, volume penjualan kendaraan roda 4 turun 14,4% yoy dan roda 2 turun 5,8% yoy.

"Pada bulan Januari 2024, pangsa pasar ASII turun menjadi sebesar 54,6% dibandingkan bulan Desember 2023 mencapai 55,9%. Begitu pula dengan segmen alat berat turun 3,4% yoy karena penjualan dan produksi batu bara yang menurun," kata Christine. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat