visitaaponce.com

Albert Hama Sebut Tambang di Maluku Utara Bom Waktu Bencana Kemanusiaan

Albert Hama Sebut Tambang di Maluku Utara Bom Waktu Bencana Kemanusiaan
Ketua Umum Forum Cendekiawan Melanesia Indonesia (Forkamsi) Albert Hama(Mi / Thomas Harwing Suwarta)

KETUA Umum Forum Cendekiawan Melanesia Indonesia (Forkamsi) Albert Hama mengingatkan pemerintah pusat khususnya Presiden Joko Widodo untuk tidak terlena dengan masifnya pertambangan di wilayah Maluku Utara yang kehadirannya sekilas menyilaukan mata karena menyumbang pertumbuhan ekonomi di daerah secara signifikan. 

Dirinya menilai masifnya aktivitas pertambangan menyimpan masalah amat mendasar yang harus segera direspon. Antara lain kesenjangan yang makin luar biasa karena kemiskinan justru makin bertambah. Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Barat tersebut mengakui; ibarat pedang bermata dua, pertambangan di Maluku Utara kini menyimpan bom waktu bencana kemanusiaan yang sewaktu-waktu bisa meledak.

"Apa yang terjadi di daerah saat ini adalah fakta kemiskinan masyarakat yang semakin menganga, daya beli menurun, harga cenderung naik karena industri tapi tidak didukung dengan kenaikan pendapatan khususnya di sektor pendukung seperti pertanian dan kelautan," ungkap Albert kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/4). 

Baca juga : Direktur PT Smart Marsindo Kembali Mangkir dari Pangggilan KPK di Kasus Suap Gubernur Malut

Hal ini menurut Albert harus disuarakan karena menyangkut nasib masyarakat Maluku Utara ke depan. 

 "Saya amat kuatir, nasib kami masyarakat Maluku Utara makin suram karena kemiskinan. Ini kami sampaikan agar segera ada intervensi. Jangan silau karena perkembangan tapi lalai hal paling elementer mengenai kesejahteraan rakyat. Lalu tambang di Maluku Utara itu untuk siapa sebenarnya kalau rakyat di Maluku Utara justru makin miskin? Ironi sekali kondisi di Malut saat ini," sambung Albert.

Kehadiran tambang beserta industri smelter di Maluku Utara yang masif belakangan ini lanjut dia dibayar sangat mahal karena mempertaruhkan nasib anak cucu Maluku Utara ke depan karena daya rusak lingkungan luar biasa yang diakibatkan. Salah satu contoh penambangan di sebagian kawasan  Halmahera Timur diduga telah merusak pesisir hingga biota laut di Teluk Buli akibat sedimentasi. 

Baca juga : 3 Bos Perusahaan Tambang di Kasus Gubernur Maluku Utara Dipanggil Ulang KPK

"Ini baru contoh kecil saja tetapi sesungguhnya ancaman keberlanjutan lingkungan hidup dan ruang sosial masyarakat tengah jadi pertaruhan serius saat ini. Kami ingin memastikan agar sekali lagi jangan rakus untuk mencari keuntungan semata tetapi lupa aspek lain. Daerah ini kaya rempah dan potensi laut, tetapi semua itu seakan sirnah karena semua tersilaukan karena tambang yang sebenarnya itu juga sejahtera untuk siapa karena kami masyarakat masih saja hidup miskin," tegas Albert.

Dia menyampaikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maluku Utara pada triwulan II-20 pertumbuhan ekonomi daerah  mencapai 23,89 persen. Hampir lima kali lipat dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Dan pertumbuhan usaha ekstraktif nikel yang berpusat di tiga wilayah, yakni Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan memberi kontribusi besar pada capaian tersebut. Selain itu juga pertambangan emas di Halmahera Barat dan Halmahera Utara.

Namun ironisnya masyarakat di lokasi konsesi tambang-tambang ini masih terjerat kemiskinan. ”Kabupaten-kabupaten ini kaya tetapi menyimpan kemiskinan paling besar juga. Ini artinya apa?" gugat Albert.

Baca juga : Pengertian Smelter, Fungsi dan Cara Kerja

Kata Albert, berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen. 

Tercatat Penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2023 tercatat 6,46 persen, naik 0,09 persen poin dibandingkan September 2022 dan naik 0,23 persen poin dibandingkan Maret 2022. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 tercatat 83.800 orang, bertambah 1.660 orang dibandingkan September 2022 dan naik 3.930 orang dibandingkan Maret 2022.

Hal ini makin diperparah karena  Data BPS 2023 menyebutkan, Indeks Kedalaman Kemiskinan Maluku Utara tercatat 1,083 atau naik dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 0,912. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,199 (Maret 2022) menjadi 0,230 (Maret 2023).

Baca juga : DPR Kritisi Tingkat Keselamatan Pekerja Tambang yang Rendah

"Ini sangat serius dan ekstrem. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib masyarakat Maluku Utara ke depan. Jangan sampai ini menyimpan bom waktu dan sewaktu-waktu bisa meledak dan akan terjadi bencana kemanusiaan luar biasa," tukas Ketua Bidang Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa DPP Persatuan Alumni GMNI tersebut.

Dalam kerangka proteksi masyarakat lanjut dia, pihaknya ke depan akan secara intens mendampingi masyarakat agar tidak menjadi pihak yang dikorobankan karena kehadiran industri ekstraktif di wilayahnya. Dia memastikan akan secara aktif memantau setiap aktivitas pertambangan yang dianggap merugikan dan mengorbankan masyarakat.

"Kami prihatin dengan situasi ini dan akan mengambil langkah mengadvokasi kepentingan masyarakat sehingga mereka betul menjadi pusat dari seluruh pembangunan yang ada, bukan justru pihak yang dieksklusikan atau disingkirkan. Termasuk kami akan memperjuangkan kembali marwah daerah ini sebagai daerah penghasil rempah dan hasil laut yang luar biasa serta tentunya keberlanjutan lingkungan hidup untuk anak cucu ke depan," pungkas Albert. (Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat