visitaaponce.com

Film Barbie Kontroversial di Berbagai Kawasan Negara Konservatif

Film Barbie Kontroversial di Berbagai Kawasan Negara Konservatif
Film Barbie mendapatkan kontroversi di kawasan negara arab(YouTube)

FILM Barbie menciptakan kontroversi di negara kawasan konservatif setelah dilarang di beberapa negara Arab. 

Di Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, di mana perempuan baru diizinkan mengemudi dan nonton bioskop pada 2018, warga ramai antri dengan mengenakan abaya pink bahkan jubah tradisional untuk menonton film ini.

Namun, di wilayah dengan pemberdayaan perempuan masih berjalan lambat, tidak semua orang nyaman dengan pemandangan ini. Sebuah foto yang dimanipulasi menampilkan Pangeran Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan Presiden Uni Emirat Arab Mohamed bin Zayed mengenakan jubah merah muda menjadi viral di media sosial.

Baca juga: Ini Gaji dan Bonus Margot Robbie di Film Barbie

Sementara itu Film Barbie telah dilarang di Kuwait dan belum dirilis di Qatar atau Oman. Di kawasan Timur Tengah secara lebih luas, film ini juga dilarang di Aljazair dan Lebanon.

"Kami tidak pernah membayangkan bahwa film seperti ini akan ditayangkan di negara-negara Teluk," kata Wadima Al-Amiri, seorang remaja Emirati, 18, di sebuah bioskop Dubai yang penuh dengan penonton yang mengenakan pakaian serba pink seperti uang dikutip dari AFP, Selasa (22/8).

Baca juga: Barbie Bertahan di Puncak Box Office untuk Pekan Keempat

Maha karya pembuat film feminis, Greta Gerwig ini memang secara licik tidak eksplisit menayangkan adengan LGBT. Tetapi dengan halus merujuk pada topik keragaman dan inklusi, serta menampilkan seorang aktor transgender.

Di Dubai, yang digambarkan sebagai pusat kosmopolitan Teluk, bioskop-bioskop dihiasi dengan pernak-pernik dan bilik foto berbentuk kotak boneka.

Seorang perempuan Saudi Mounira, 30, datang bersama tiga putrinya yang mengenakan pakaian pink di sebuah teater Dubai.

"Jika film ini mencakup prinsip atau konsep yang bertentangan dengan keyakinan kita, maka seharusnya tidak ditayangkan di Arab Saudi atau negara-negara Teluk lainnya. Tapi kami datang memberi kesempatan pada film ini,” kata dia dengan penuh keyakinan. 

Belum lama ini, bahkan sebuah video Barbie raksasa yang diciptakan secara digital berdiri di dekat Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia. Video ini telah dibagikan oleh ribuan orang. 

Pemberdayaan perempuan menjadi ide awal dalam film ini. Berbagai macam karakter mencakup presiden, diplomat, dan hakim Mahkamah Agung, merupakan pekerjaan yang secara tradisional diberikan kepada pria.

Namun, seiring alur ceritanya berkembang, patriarki yang mengancam mengganggu 'Barbieland'. Sehingga terjadilah sebuah utopia matriarkal di mana pria bersantai di pantai sementara perempuan menduduki peran-peran bergengsi.

Film ini mencuri perhatian di Arab Saudi, di mana aktivis perempuan masih dihadapkan pada tuduhan unggahan media sosial yang melanggar kode ketat berpakaian dan di mana homoseksualitas dilarang seperti di sebagian besar wilayah tersebut.

Restoran di ibu kota Riyadh telah memperkenalkan hidangan dan minuman terinspirasi dari Barbie ke dalam menu mereka. Namun, tidak semua orang terkesan.

Hanan Al-Amoudi, warga Dubai, mengatakan bahwa dia tidak tertarik untuk menonton Film Barbie.

"Saya mendukung kebebasan dan keterbukaan, tetapi terkait dengan 'Barbie', saya mendengar bahwa film ini menantang maskulinitas," kata Hanan, yang mengenakan abaya hitam dan niqab.

"Untuk seorang pria menyerupai seorang wanita dengan menggunakan riasan dan berpakaian secara efeminat, ini adalah sesuatu yang tidak saya sukai," katanya, merujuk pada Ken yang flamboyan milik Ryan Gosling.

Di Bahrain, Barbie telah menarik perhatian penceramah Islam Hassan Al-Husseini. Dalam unggahan Instagram, dia mengkritik film ini karena melawan gagasan pernikahan dan keibuan dan menampilkan pria tanpa maskulinitas.

Kuwait memblokir film ini untuk melindungi etika publik dan tradisi sosial. Kuwait adalah satu-satunya negara Arab Teluk bulan ini yang melarang film horor Australia Talk to Me yang menampilkan seorang aktor transgender tetapi tidak membahas masalah LGBT. Namun, warga Kuwait masih bisa menonton Barbie melalui situs web bajakan atau bahkan dengan menyeberang perbatasan ke Arab Saudi.

Jurnalis Kuwait Sheikha Al-Bahaweed mengalirkan film ini secara online tetapi merasa kecewa karena merasa bahwa film ini tidak cukup feminis atau inklusif.

"Ia menampilkan feminisme putih, kolonial, dan dangkal, feminisme tidak pernah didasarkan pada menggantikan sistem patriarki dengan sistem matriarki, melainkan didasarkan pada kesetaraan, keadilan, dan peluang yang sama,” kata dia. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat