visitaaponce.com

Darurat KDRT, Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan Disorot

Darurat KDRT, Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan Disorot
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).(Istimewa)

KOMISI Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti pemenuhan hak konstitusional perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di era Pandemi Covid-19 secara virtual, Rabu, (24/3). Hal itu menjadi salah satu dari tiga policy brief yang diluncurkan.

Catatan Komnas Perempuan yang menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 6% pada 2019 (431.471 kasus) dibandingkan 2018. Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati mengatakan, KDRT menjadi jenis kekerasan yang paling banyak terjadi, yaitu 75% (11.105 kasus) dari total 14.719 kasus.

Setali tiga uang, data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga melaporkan tingginya KDRT mencapai sebanyak 110 kasus dalam tiga bulan saja, sejak pemberlakuan PSBB atau 16 Maret - 20 Juni 2020.

"Pandemi berpotensi menyebabkan terhambatnya penanganan kasus kekerasan bagi korban, kehilangan akses layanan kesehatan karena karantina wilayah, dan berkurangnya jumlah fasilitas layanan pengaduan," kata Retty.

Pihaknya berharap, policy brief didasarkan analisis mendalam itu bisa menjadi bahan rekomendasi kepada pembuat kebijakan dalam pemenuhan hak konstitusional perempuan dengan KDRT di era pandemi covid-19 dan kebiasaan baru.

Apalagi, menurutnya, KDRT tidak hanya dialami oleh perempuan yang tidak bekerja. Pihaknya bahkan menemukan, kekerasan yang dialami perempuan dari hari ke hari semakin sering dialami oleh perempuan pekerja paruh waktu.

"Perempuan bekerja atau tidak bekerja sama-sama terkena dampak pandemi yaitu bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga. Hasil survei dinamika perubahan rumah tangga di masa pandemi covid-19, pada 1.885 perempuan yang berpartisipasi dalam survei Komnas Perempuan," bebernya.

Dilihat dari status pekerjaan, mayoritas perempuan (54%) adalah pekerja purna waktu atau 8 jam sehari, (28%) pekerja paruh waktu dan (18%) tidak bekerja. Sebagian besar perempuan baik bekerja maupun tidak bekerja sudah melakukan tambahan pekerjaan rumah tangga lebih dari 3 jam.

"Menjawab pertanyaan sejak pandemi Covid-19 apakah terjadi perubahan perilaku kekerasan? Jawabannya bervariasi dari persepsi perempuan bahwa kekerasan semakin sering dialami oleh perempuan pekerja paruh waktu (10%), diikuti persepsi yang sama pada perempuan tidak bekerja (8%) dan perempuan pekerja purnawaktu (7%)," ungkapnya.

Menurut Komnas Perempuan, masih banyak perempuan yang diam saja ketika mengalami KDRT. Meskipun, pandemi telah mengubah situasi pemberian layanan atau pertolongan kepada korban KDRT kepada pengaduan berbasis daring melalui telepon, sms, atau whatsapp.

"Metode ini mungkin tidak bisa diakses oleh korban KDRT yang tidak terbiasa menggunakan layanan daring. Ada juga beberapa lembaga yang melakukan layanan langsung pada kasus yang dianggap mendesak atau korban dalam situasi bahaya," sebut Retty.

Daya lenting
Sebagai policy Brief ke-2, Komnas Perempuan menyoal dampak pandemi covid-19 dan kebijakan PSBB melalui kacamata perempuan. Seperti diketahui, pemerintah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan menutup sekolah, layanan kesehatan dan larangan pertemuan keagamaan atau nonkeagamaan untuk mencegah penularan covid-19. Namun, hal itu rupanya memberikan dampak negatif pada perempuan dan anak perempuan dalam jangka panjang.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshori melakukan kajian atas kondisi itu dengan meneliti akses terhadap program jaminan sosial berbasis gender; hak atas perlindungan dan rasa aman; risiko beban ganda terutama pekerjaan feminin yang dilekatkan pada perempuan; kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan berbasis gender; akses terhadap layanan kesehatan reproduksi; dampak ekonomi terhadap kesempatan kerja bagi perempuan dan; keterbatasan akses dan informasi melalui daring.

Untuk policy brief ke-3, Komnas Perempuan meneliti resiliensi perempuan dalam menyikapi pandemi covid-19, salah satu temuan kajian Komnas Perempuan yakni tingginya daya lenting (resiliensi) perempuan untuk meredam dampak, beradaptasi terhadap pandemi, dan berjejaring sesama perempuan.

"Policy brief ini bertujuan menyajikan empat studi kasus di tahun 2020 untuk menggambarkan resiliensi perempuan dari aspekaspek keberanian, keuletan, kepekaan, kepemimpinan, kemampuan negosiasi, dan tetap konsisten pada misi dan visi di masa covid-19," kata Retty.

Data studi kasus didapat Komnas Perempuan dari berbagai wawancara daring dengan individu narasumber, focus group discussion (FGD) dan Kajian Situasi Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan & PPHAM di masa COVID-19 (Komnas Perempuan, 2020).

Diperlihatkan bagaimana dan apa langkah-langkah yang diambil perempuan dalam menghadapi pandemi, serta sejauh mana kontribusi perempuan untuk menjaga kehidupan dirinya, keluarganya dan komunitasnya.

Penting diketahui, Badan kesehatan dunia mengatakan perempuan adalah tulang punggung pelayanan kesehatan, karena 70% tenaga kesehatan di dunia adalah perempuan (WHO, 2018). Di Indonesia, jauh sebelum pandemi, perempuan sudah merupakan tenaga kesehatan terdepan.

Kehadiran 3 Policy Brief ini pun didukung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga. Ia berharap tiga policy brief dan diseminasi yang diluncurkan Komnas Perempuan dapat menjadi referensi untuk penyusunan kebijakan perlindungan perempuan terutama di masa pandemi dan kebiasaan baru.

"Diharapkan adanya penerapan dan harmonisasi kebijakan sebagai proses percepatan implementasi kebijakan pada masing-masing Kementerian ataupun lembaga," kata Bintang. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat