visitaaponce.com

Kisah Kasih Prabu dan Ratu, Sang Penguasa Langit Jawa, di Gunung Halimun Salak

KISAH Romeo dan Juliet hingga lirik lagu Galih dan Ratna adalah sebagian dari romansa cinta nan romantis di manusia. Dan cerita seputar janji setia tanpaknya juga terjadi di makhluk hidup lain.

Seperti, pasangan Ratu dan Prabu. Mereka berdua menjalani kehidupan dengan bahagia dan menghasilkan keturunan. Rimbunan hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi saksi cinta mereka. Prabu dan Ratu sama-sama penganut monogami. Mereka masing-masing bersetia dengan pasangannya.

Baca juga: Duh, Ada Elang Jadi Berperilaku Ayam karena Ulah Manusia

Prabu dan Ratu adalah pasangan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Sebagai satwa monogami, biasanya elang jawa akan memilih pasangan berdasar rentang usia yang sama. Namun Prabu dan Ratu menabrak pakem itu. Cinta mengaburkan perbedaan. Sekali cinta bicara, usia tak jadi perkara.

Cerita keduanya disampaikan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Wardi Septiana. Ada beberapa pasangan elang jawa yang ternyata beda usia, si betina lebih tua dibanding jantan.

"Kalau misalkan melihat dari kebiasaan yang pernah kita pantau, sebagian besar memang perilaku elang jawa setia pada pasangannya gitu. Jadi dari segi umurnya, seumuranlah," terang Wardi.

Baca juga: Badak Jawa Lahir di TN Ujung Kulon, Elang Jawa Lahir di TMII

Menurutnya, kisah Prabu dan Ratu termasuk unik dan perlu kajian lebih lanjut. Selain Prabu dan Ratu, ada pula elang jawa lain yang berperilaku sama. Tim melakukan pemantauan pada 10 dari 12 sarang di kawasan TNGHS. Hasilnya, ada 2 pasang elang jawa yang berperilaku demikian. Sedangkan delapan sisanya, pasangan elang jawa berada dalam rentang usia yang sama.

"Tapi yang kami temukan di dua tempat, di blok Citiis dan Cidahu. Dari struktur umur, yang jantan lebih muda dari pasangan betinanya. Jadi ada dua kasus nih," lanjut Wardi.

Tak mudah menentukan usia pasti dari elang jawa. Selama ini, yang dipakai untuk menandai usia adalah warna bulu. Semakin tua biasanya warnanya lebih gelap, begitupula sebaliknya.

"Jadi kalau yang lebih tua itu biasanya kan warnanya hitam coklatnya ketuaan. Yang lebih muda ini memang coklatnya lebih muda, warna bulunya lebih terang," lanjutnya.

Tak hanya untuk manusia, cinta menjadi anugerah tuhan untuk semua makhluk hidup. Satwa pun demikian. Sudah menjadi kodrat untuk saling berpasangan dan menelurkan keturunan. Dari cinta Prabu dan Ratu, lahirlah Prawara pada awal April 2021.

Dok Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Prawara menjadi yang istimewa. Kelahirannya dipantau khusus dan rutin oleh tim monitoring elang jawa Balai TNGHS sejak Desember 2020. Masa sebelum dan sesudah kelahirannya terdokumentasi utuh dari penataan sarang, pengeraman telur sampai menetas.

Tim menggunakan kamera CCTV yang dipasang di dekat sarang lalu mengoneksikan ke jaringan internet agar bisa dipantau. Pemantauan bahkan bisa diakses via ponsel android.


Inkubator Alami ala Elang Jawa

Tak hanya bayi manusia yang butuh inkubator untuk menjaga agar tubuh tetap hangat, anakan elang jawa pun demikian. Pada bayi manusia, inkubator biasanya berbentuk persegi panjang dengan lapisan kaca di semua sisi. Ada pula kasur kecil sebagai tempat tidur dan lubang untuk memudahkan perawatan. Lalu bagaimana dengan elang jawa?

Baca juga: Garuda Pancasila: Elang Rajawali atau Elang Jawa?

Tentu berbeda dengan inkubator manusia. Di alam liar, elang jawa menggunakan daunan basah untuk melindungi telur dari air hujan sekaligus menjaga suhu tetap hangat. Biasanya induk betina membawa daun basah maksimal 2 hari sekali ke sarang.

Dok Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Wardi menceritakan perilaku elang jawa bernama Ratu saat mengerami telur.

"Biasanya, paling maksimal 2 hari sekali mereka induk ini, terutama induk betina, bawa ranting untuk menjaga kehangatan telur atau dari hujan. Kayak inkubator. Kan itu sarangnya (terbuka) air hujan langsung (masuk)," terang Wardi.

Di alam liar, elang jawa tidak boleh terganggu saat dalam proses pengeraman telur. Elang jawa sangat sensitif dengan keberadaan manusia. Bahkan proses pengamatan pun harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Jika tidak, elang jawa tidak segan untuk meninggalkan sarang dan telurnya.

"Bahwa kalau lagi bertelur, itu jangan sampai memang intens untuk dilakukan pengamatan. Karena dia akan terganggu dan kalau dia sudah terganggu itu akan ditinggalkan telurnya itu. Jadi tak peduli begitu. Kalau dia sudah terganggu baik secara alami ataupun apalagi sudah ada aktivitas yang memang terasa asing oleh mereka, aktivitas manusia apalagi. Biasanya dia tinggalkan," sambung Wardi.

Baca juga: Pelepasliaran Satwa akan Lebih Diintensifkan

Tim Monitoring Elang Jawa Balai TNGHS mendapat pelajaran berharga terkait hal itu. Pada 2018, di blok Bitung Leha, tim ingin melakukan pengamatan intensif terhadap proses bertelur. Karena data tentang proses bertelur dan pengeraman elang jawa sangat minim.

"Kita coba lakukan pengamatan seminggu, 3 kali maksimal. Jadi karena itu jauh dari dari jangkauan dari kampung sekitar 3 jam ke atas ke arah Gunung Salak itu ke Puncak Mossa di dekat di daerah situ. Jadi makanya kita nge-camp begitu kan paling juga 1-2 hari untuk memantau perilaku apa saja sih dia dari mulai pagi sampai sore itu," sambungnya.

Memang secara perilaku, elang jawa terlihat nyaman-nyaman saja. Seperti tidak terganggu sama sekali. Ternyata, kenyataan tidak seperti penampakan. Pasangan elang jawa Nyi Beti dan Ki Jalu merasa terganggu dengan kehadiran tim pemantau. Mereka meninggalkan sarang. Hal itu diketahui dengan tak ada lagi daun basah untuk melindungi telurnya.

"Kalau dia datang ke sarang bawa ranting begitu biasa, mengerami telur segala macam, biasa saja sih pada awalnya. Tapi pas jalan sekitar 3 minggu - 1 bulan, ternyata itu memang ditinggalkan," sambung Wardi.

Itu menjadi pelajaran berharga. Saat pengeraman telur, pemantauan harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Pengamatan harus memperhatikan jarak aman sehingga elang jawa tidak merasa terganggu. Karena itu akan berpengaruh pada perilaku mereka saat masa pengeraman telur.

Sebab itu tim menggunakan CCTV yang dipasang sebelum masa pengeraman telur, yakni saat pendataan sarang. Fasilitas CCTV membuat gerakan relatif sedikit dan tidak ada bau manusia. (X-15)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat