visitaaponce.com

IDI Tidak Punya Dewan Pengawas, Terbuka Celah Korupsi

IDI Tidak Punya Dewan Pengawas, Terbuka Celah Korupsi
Ilustrasi(Medcom.id)

SEKRETARIS Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam menyebut adanya potensi korupsi dalam tubuh pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ada beberapa kondisi yang membuat dia mencapai kesimpulan tersebut.

Pertama, IDI memperoleh dana yang sangat besar karena adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah dan negara di UU Praktek Kedokteran 2004.

Dalam UU itu, katanya, IDI memiliki kewenangan untuk mengumpulkan dana iuran anggota, mengumpulkan dana sertifikat kompeteisi yang dikeluarkan kolegium yang dibentuk IDI dan menarik dana dari penyelenggaraan training pertemuan ilmiah bersatuan kredit partisipasi (SKP).

Baca juga : IDI Minta Menkes Beberkan Data Valid 77 Ribu Dokter Pelamar STR

"Yang menjadi masalah, tidak ada pengawasan dalam internal organsiasi IDI. Padahal pada padal 53 dan 54 UU nomor 17 tahun 2013 mengamanatkan setiap organsaisi kemasyarakatan perlu mempunyai pengawasan internal organsaisi," kata Judilherry, Senin (1/5).

Namun, hingga kini IDI tidak memiliki dewan pengawas untuk mengawasi keuangan IDI yang dinilainya besar, baik secara internal maupun eksternal. Dalam pandangannya, setiap Muktamar IDI pun tidak ada sesi khusus yang membahas tentang laporan keuangan IDI. Kalaupun ada, IDI tidak menyebutkan apakah laporan keuangan itu sudah diperiksa auditor publik atau belum.

Baca juga : IDI Kecam Pemberhentian Prof Zainal Muttaqin dari RS Kariadi

Judilherry yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat PB IDI 2012 dan 2015 pun mengau diirinya pernah mengusulkan agar dibentuk struktur dewan pegawas PB IDI. Usulannya yang dibawa dalam sidang pleno muktamar IDI pun selalu ditolak mentah-mentah.

"Alasannya macam-macam, masa gak percaya pada PB IDI? Atau jangan sampai ada matahari kembar dalam tubuh PB IDI. Padahal, adik organisais PB IDI, yaitu Persatuan Dokter Gigi Indonesia saja sejak konngres 2014 sudah membentuk dewan pengawas dalam tubuh PDGI," beber dia.

Sebagai akal-akalan, lanjut dia, PB IDI megaku bahwa Bidang Pertimbangan PB IDI juga berfungsi sebagai pengawas internal organsiasi. Padahal, Bidang pertimbangan PB IDI dibentuk oleh Ketua Umum PB IDI.

"Pertanyannya, bagaimana mungkin pengawasan bisa dilakukan secara efektif bila badan pertimbangan dibentuk oleh internal PB IDI sendiri?" tanya dia.

Judilherry menyatakan, korupsi terjadi karena adanya monopoli, diksresi dan tidak adanya akuntabilitas. Tiga hal itu dinilainya sudah terjadi dalam tubuh PB IDI. Ia menuturkan, IDI telah melakukan monopoli dari hulu sampai ke hilir. Di hulu, IDI berperan sebagai profesi tunggal dan memiliki kewenangan membentuk kolegium. Sementara di hilir, IDI berwenang memberikan rekomendasi izin praktek dokter.

"Dengan memiliki diskresi, IDI bisa menentukan dokter A bisa dapat rekomendasi izin praktek atau tidak. Dan bisa pula menentukan dokter B atau C dipungut dana berapa di luar iuran anggota IDI 5 tahun untuk memperoleh rekomendasi izin praktek," ucap dia.

Untuk itu, ia memberikan rekomendasi agar PD IDI membentuk dewan pengwas organsiasi dalam tubuh IDI agar status dan pengawasan sejajar dengan IDI sehingga pengawasan bisa berjalan efektif.

"Kedua, agar terjaminnya transparansi dan akuntabilitas, seyogyanya dibentuk komisi khusus dalam muktamar untuk membahas laporan keuangan sebagaimana ada komisi organsiasi pendidikan, komisi penanganan kesehatan, komisi rekomendasi dan lain sebagainya," pungkas dia.

Penjelasan IDI

Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi telah mengklarifikasi seputar penghimpunan dana iuran anggota yang dikelola organisasi. Hal itu diutarakannya saat agenda Public Hearing RUU Kesehatan di Gedung Kemenkes RI, Kuningan Jakarta, Maret 2023.

Adib menegaskan, IDI sebagai lembaga yang memperoleh amanat dari negara dalam pembinaan kendali mutu dokter di Indonesia, tidak pernah mendapatkan anggaran yang bersumber dari negara.

Selama ini, IDI menetapkan biaya iuran satu orang anggota IDI senilai Rp30 ribu per bulan. Jika dikalikan lima tahun masa aktif keanggotaan, total mencapai Rp1,8 juta per orang. "Iuran IDI, artinya ini adalah sebuah hal yang normal di dalam lembaga masyarakat menghimpun adanya iuran," katanya.
 
Nominal tersebut, di luar tanggungan iuran perhimpunan senilai Rp100 ribu per orang, yang disesuaikan dengan kemampuan berbagai perhimpunan kedokteran. Jika dikali selama lima tahun masa aktif, totalnya mencapai Rp6 juta.
 
"Artinya, saya di perhimpunan ortopedi, spesialis penyakit dalam, dan yang lainnya berbeda-beda. Ada perhimpunan yang nominalnya lebih rendah, tapi rata-rata Rp100 ribu per bulan," katanya.
 
Adib mengatakan, setiap anggota IDI juga perlu menebus biaya kartu tanda anggota elektronik Rp30 ribu per orang. Kemudian biaya rekomendasi praktik yang telah disepakati sebesar Rp100 ribu per Surat Izin Praktik (SIP) yang berlaku lima tahun. Terdapat tambahan biaya sebesar Rp100 ribu dikenakan kepada setiap dokter untuk keperluan resertifikasi bukan dihimpun oleh IDI, melainkan Konsil Kedokteran.
 
"Jadi nominal yang dikeluarkan kalau total selama lima tahun adalah Rp4,4 juta, dengan rata-rata dokter hanya membayar Rp140 ribu," katanya. (Ant/Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat