visitaaponce.com

Tembakau jadi Komoditas yang Berdayakan Masyarakat dan Dorong Perekonomian

Tembakau jadi Komoditas yang Berdayakan Masyarakat dan Dorong Perekonomian
Petani Tembakau(Antara)

WACANA penyamaan regulasi yang memasukkan tembakau dalam kategori yang serupa dengan zat adiktif lain seperti narkotika pada Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan memicu pro dan kontra.

Pasalnya, tembakau bukan hanya menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi juga memiliki historis yang lebih tua dari usia negara ini sendiri.

Baca juga: DPR Minta Tembakau tidak Dikelompokkan dengan Narkotika di RUU Kesehatan

Angka kontribusi penerimaan negara dari cukai Industri Hasil Tembakau (IHT) terbilang besar, yakni hampir Rp200 triliun pada tahun lalu Kontribusi tersebut  juga memberikan efek berganda pada kehidupan petani tembakau di Indonesia.

Demkian disampaikan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia  (APTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminudin lewat keterangan yang diterima, Rabu (31/5).

Baca juga: Kemenkes: Tembakau Masuk Kelompok Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan, bukan Narkotika

Ia mmengatakan, menanam tembakau sudah menjadi budaya yang umumnya diturunkan dari orang tua mereka. Sehingga, mengganti kebiasaan tersebut dengan menanam tanaman lain akan sangat sulit.

“Lahan kami cuma cocok untuk tanaman tembakau. Selama ini di daerah, tembakau merupakan komoditas yang nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian atau komoditas perkebunan. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta," tandasnya

Senada, peneliti kebijakan publik dari IPB University Dr. Sofyan Syaf menilai industri tembakau telah menjadi andalan bagi banyak petani dan masyarakat lokal, sehingga dampaknya akan sangat signifikan apabila sektor tersebut dilemahkan.

Baca juga: AMTI Menilai Intervensi Asing Ancam Kedaulatan Tembakau Indonesia

“Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Kemudian, kalau kita lihat perputaran uang per tahunnya itu sampai Rp9,2 triliun di tingkat petani. Bayangkan kalau kemudian diksi pasal zat adiktif itu hadir, maka habis petani yang kemudian bergantung pada tembakau. Rp9,2 triliun perputaran uang per tahunnya," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengungkapkan bahwa pengalihan petani tembakau untuk menanam tanaman pangan tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, selain permasalahan pada konversi lahan, terdapat masalah yang lebih krusial, yakni terkait insentif petani.

“Persoalan pangan bukan semata persoalan lahan. Utamanya justru ada pada sistem insentif di sektor pertanian. Saat ini, nilai tukar petani sangat rendah. Tidak ada insentif bagi petani. Semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani. Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” tandasnya.

Baca juga: Pemerintah Kaji Asuransi Petani Tembakau

Ia meambahkan, selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, maka ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan secara optimal.

“Selama sistem insentif di sektor pertanian tidak berubah, tidak ada dorongan untuk menjadi petani, sektor pertanian dan lahan pertanian akan ditinggalkan. Dengan demikian, output pertanian juga akan semakin turun. Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang,” pungkasnya. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat