visitaaponce.com

LBH Apik RUU KIA Jangan Jadi Undang-Undang yang Eksklusif

LBH Apik: RUU KIA Jangan Jadi Undang-Undang yang Eksklusif
Ilustrasi MI(MI/Duta )

KOORDINATOR Perubahan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta Dian Novita mengatakan ia dan mayoritas organisasi perempuan belum sepenuhnya mendukung Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Dian menyampaikan ia masih ingin ada diskusi secara mendalam terkait tujuan dari RUU tersebut.

Ia tidak ingin RUU KIA jadi regulasi yang hanya menguntungkan segelintir kalangan saja. 

“Kami tidak ingin ini jadi UU yang yang eksklusif, yang hanya menguntungkan pekerja perempuan di sektor pegawai negeri atau ASN atau pekerja di perusahaan yang sudah mapan,” kata Dian kepada Media Indonesia, Kamis (15/6).

Baca juga: Cuti Melahirkan untuk Ibu dan Bapak Bisa Tingkatkan Perekonomian Negara

“UU ini harus jadi UU yang dimiliki semua orang. Jangan sampai hanya bisa diakses pekerja yang punya jam kerja yang jelas. Tidak memperhatikan para pekerja seperti buruh di sektor padat karya, seperti buruh pabrik garmen, buruh pabrik sepatu yang harus selalu memperpanjang kontrak kerja mereka. UU ini jangan eksklusif, yang menikmati hanya segelintir orang,” tambahnya.

Demikian pula wacana soal cuti melahirkan selama enam bulan yang diberikan kepada pekerja perempuan. Dian khawatir perspektif soal pemberian cuti itu justru masih dipahami bahwa tugas mengasuh dan merawat anak hanya dilakukan oleh ibu. Ia ingin ada pemahaman yang jelas terkait pengasuhan anak yang menjadi tanggung jawab ibu dan ayah bersama-sama.

Baca juga: Susun DIM RUU KIA, KemenPPPA Lakukan Dialog Bersama Masyarakat Sipil

“Cuti enam bulan itu jangan sampai malah mendomestikasi perempuan. Karena perempuan sudah dikasih libur panjang selama melahirkan, berarti dia harus mengurus anaknya sendirian,” tegasnya.

“Kalau kita lihat di negara maju, pemerintah Belanda misalnya, mereka memberikan dukungan langsung kepada ibu melahirkan. Mereka memberikan perawat untuk datang ke rumah, mengajarkan suami cara mendampingi ibu yang baru melahirkan. Perspektif mereka soal hamil dan melahirkan itu juga berbeda. Di sana mereka menyebutnya ‘kami hamil’, bukan ‘ibu hamil’, yang mana berarti yang mengalami hamil dan melahirkan itu berdua, ibu dan ayahnya. Dari perspektif dulu saja yang kami ingin ini harus clear,” jelasnya. (Dis/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat