Revisi RTRW Kalimantan Timur Dinilai akan Rugikan Masyarakat dan Satwa
MANAGER Kampanye Hutan Walhi Indonesia Uli Arta Siagian menuturkan Revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur merupakan proses hukum yang sarat akan kepentingan oligarki. Revisi RTRW itu, kata Uli, akan merugikan masyarakat Kaltim dan satwa liar seperti orang utan dan badak kalimantan.
Koalisi Indonesia Memantau yang di dalamnya terdapat organisasi dan LSM terkait perlindungan hutan dan lingkungan menolak dengan tegas rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.255 hektar melalui revisi RTRW tersebut.
“Di atas kawasan yang akan dilepaskan itu telah dibebani oleh 156 izin konsesi perusahaan. Perusahaan yang bermain di sana ada dari sektor pertambangan, monokultur seperti sawit berskala besar dan kebun kayu. Padahal di dalam kawasan itu terdapat masyarakat adat yang selama ini tinggal di hutan. Dari 863 desa atau kampung di Kaltim, 640 desa atau kampung itu adanya di hutan. Belum lagi habitat Orangutan dan Badak di sana ternyata 100 persen masuk dalam konsesi RTRW itu,” ujar Uli dalam diskusi ‘Revisi RTRW Kalimantan Timur: Demi Oligarki’ di Jakarta, Jumat (7/7).
Baca juga: Sambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Walhi Gelar Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2023
Diketahui, berdasarkan analisa Koalisi Indonesia Memantau, lahan seluas 51.057 hektare telah dibebani izin 5 perusahaan tambang yaitu PT Ratah Coal, PT Pari Coal, PT Maruwai Coal, PT Lahai Coal dan PT Energi Persada Khatulistiwa. Seluruh habitat badak yang di interseksi dengan perusahaan tersebut merupakan 100% hutan alam
Data Catahu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dari tahun 2018-2022 terdapat 40 letusan konflik agraria yang ada di daerah mega proyek Ibu Kota Negara baru itu. Hal itu membuat Kalimantan Timur masuk dalam deretan 5 besar penyumbang kasus konflik agraria di Indonesia.
Baca juga: Aktivis Dorong Adanya UU Keadilan Iklim. Ini Alasannya
“Analisa kami menunjukan bahwa revisi RTRW Kalimantan Timur saat ini syarat akan kepentingan korporasi, sedangkan kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber-sumber agrarianya justru diabaikan. Pengabaian ini tentunya akan memperpanjang malapetaka krisis agraria di Kalimantan Timur,” jelas Uli.
“Konflik agraria telah menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan dan semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan. Dampak lainnya juga anak-anak semakin banyak yang terlantar akibat orangtua mereka telah dimiskinkan secara struktural akibat RTRW tersebut,” tambahnya.
Peneliti dan juru kampanye dari Auriga Nusantara, Hilman Afif menjelaskan rencana tersebut semakin menegaskan diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap rakyat.
Ia membeberkan penguasaan tanah petani sangat kecil, yaitu sekitar kurang dari 0,5 hektar-2,9 hektar. Hanya berjumlah kurang lebih 180 ribu hektar. Berbanding terbalik dengan penguasaan perusahaan dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar.
“Artinya tingkat guremisasi atau ketimpangan penguasaan tanah di Kaltim sudah mencapai level kronis. Belum lagi 8 tahun lebih janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan/atau perubahan kawasan hutan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat tidak ada kejelasan dan gagal. Pemerintah justru semakin membuka peluang letusan konflik dan jurang ketimpangan penguasaan tanah yang semakin memiskinkan masyarakat,” ungkap Hilman.
Hilman juga mengungkapkan temuan masyarakat sipil selama ini semakin memperjelas bahwa revisi RTRW merupakan modus kejahatan yang dengan sengaja diakomodasi oleh pemerintah dan dilegalkan melalui produk hukum RTRW tersebut.
RTRW, lanjut Hilman, telah mengakomodasi pengampunan kejahatan kehutanan dan pelanggaran tata ruang yang telah dilakukan oleh korporasi. Revisi RTRW juga mengakomodasi kejahatan hutan yang sangat rentan dengan praktik korupsi.
“Koalisi Indonesia Memantau juga telah menyampaikan fakta-fakta tadi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 5 Juli 2023 kemarin. Kami juga turut meminta KPK untuk memantau proses pelepasan kawasan hutan Kalimantan Timur. Kami juga mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur untuk menghentikan sementara proses revisi perda RTRW dan membuka ruang keterbukaan serta partisipasi kepada masyarakat sipil,” pungkasnya. (Dis/Z-7)
Terkini Lainnya
Polusi di Jakarta, Walhi: Tidak Perlu Bawa Negara Lain, Ini Murni Tata Kelola Pemprov DKI
Belum Efektif, Walhi: Sampah Jakarta ke Bantargebang Perlu Ditekan
Pulihkan Ekosistem Lingkungan Melalui Konsep Ekonomi Restoratif
Generasi Z Harus Ambil Bagian dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Hilirisasi Bukan Solusi Pembangunan Berkeadilan
Walhi: Kerusakan Lingkungan oleh Surya Darmadi Lebih Lama Dari Vonis Hukumannya
Indonesia Diapresiasi karena Gunakan Teknologi untuk Pantau Hutan Dan Karhutla
Dua Tersangka Pembunuhan Perempuan Tukang Pijat Ditangkap
Nana Sudjana Berkomitmen Selesaikan Dampak Krisis Iklim di Jateng
Hutan Gunung Bromo Kebakaran saat Ada Upacara Adat Yadnya Kasada, ini Kata Balai TNBTS
Respons All Eyes On Papua, DPR Minta Persoalan Alih Fungsi Lahan Libatkan Para Ketua Adat
Forum SSKE Komitmen Bersama Cegah Laju Perubahan Iklim
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap