Cuaca Juli 2023 Terpanas, PBB Anggap Bumi Alami Global Boiling
![Cuaca Juli 2023 Terpanas, PBB Anggap Bumi Alami Global Boiling](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/08/52751e06277457f0725e1c92bd3832da.jpg)
ERA global warming telah berakhir dan era global boiling telah dimulai. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, setelah ilmuwan mengkonfirmasi bahwa bulan Juli 2023 menjadi bulan terpanas dalam sejarah dunia.
"Perubahan iklim ada di sini. Ini menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5 °C di atas tingkat pra-industri dan menghindari yang terburuk dari perubahan iklim, tetapi hanya dengan tindakan iklim dramatis dan segera," kata Guterres, Rabu (2/8).
Komentar Guterres datang setelah ilmuwan mengkonfirmasi tiga minggu terakhir terpanas sejak catatan dimulai dan Juli dikonfirmasi menjadi bulan terpanas yang pernah tercatat. Suhu global bulan ini telah memecahkan rekor, menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program observasi Bumi Copernicus dari Uni Eropa, disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan menyebabkan cuaca ekstrem.
Baca juga: Walhi: Cuaca Ekstrem Jangan jadi Alibi Polusi Meningkat Buat Pemprov DKI
Kenaikan suhu rata-rata global yang stabil, karena polusi menyimpan sinar matahari dan bertindak seperti rumah kaca di Bumi, membuat ekstrem cuaca menjadi lebih buruk.
"Manusia berada dalam posisi panas. Bagi sebagian besar wilayah Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa, ini adalah musim panas yang kejam. Bagi seluruh planet ini adalah bencana. Dan bagi para ilmuwan, hal ini tak terbantahkan, manusia yang bertanggungjawab," kata dia.
Baca juga: Kurang Efektif, Operasi Water Bombing Karhutla akan Diganti Modifikasi Cuaca
Menurutnya, semua ini sepenuhnya konsisten dengan prediksi dan peringatan berulang. Satu-satunya kejutan adalah kecepatan perubahan ini. Perubahan iklim sedang terjadi dan ini baru permulaan era baru yakni era ‘global boiling.’
Guterres mendesak para politisi untuk tindakan cepat. "Udara tidak bisa dihirup, panasnya tidak tertahankan, dan tingkat keuntungan bahan bakar fosil dan ketidakberdayaan terhadap perubahan iklim adalah tidak dapat diterima. Pemimpin harus memimpin. Tidak ada lagi ragu-ragu, tidak ada lagi alasan, tidak ada lagi menunggu orang lain untuk bergerak lebih dulu. Waktu sudah habis untuk itu.
Hasil dari energi terbarukan sudah dapat kita lihat kemajuannya. Namun, semua ini tidak, kenaikan suhu yang semakin cepat membutuhkan tindakan yang lebih cepat. Polusi gas rumah kaca telah meningkatkan suhu gelombang panas mematikan di tiga benua bulan ini, menurut analisis cepat dari jaringan World Weather Attribution yang dipublikasikan pada Selasa (26/7). Studi tersebut menemukan bahwa manusia membuat gelombang panas di Eropa selatan, Amerika Utara, dan China menjadi lebih panas masing-masing sebesar 2,5°C, 2°C, dan 1°C.
Joyce Kimutai, seorang ilmuwan iklim di Institut Grantham, mengatakan peristiwa cuaca ekstrem yang lebih besar dan lebih kuat menyebabkan kerusakan di seluruh dunia terutama di negara-negara miskin yang paling sedikit bertanggung jawab atas emisi.
Dia menambahkan, "Ini harus menjadi panggilan kebangkitan yang meyakinkan bagi kita semua. Kita perlu menggeser pembicaraan menjadi apa yang perlu segera terjadi tahun ini."
Para pemimpin dunia akan bertemu di Uni Emirat Arab pada November 2023 untuk menyetujui cara menghentikan pemanasan planet, beradaptasi dengan cuaca yang lebih ekstrem, dan membayar kerusakan.
Catherine Abreu, pendiri kelompok kampanye Kanada Destination Zero, mengatakan, “Pemerintah harus memahami bahwa transisi ini dari bahan bakar fosil bukan hanya tak terhindarkan, tetapi mendesak. Ini perlu direncanakan, memerlukan kerja sama. Ini memerlukan penyediaan keuangan dalam skala yang saat ini tidak disediakan."
Dalam rencana jalan menuju emisi nol yang disusun oleh Badan Energi Internasional, tidak ada lapangan minyak dan gas baru yang disetujui untuk pengembangan mulai dari tahun 2021. Sebaliknya, pemerintah termasuk AS, Inggris, dan Australia telah memberikan izin untuk melakukan pengeboran lebih banyak.
Marina Romanello, peneliti iklim dan kesehatan di University College London dan kepala Lancet Countdown, mengatakan "Kami memiliki data yang menunjukkan bagaimana pondasi kesehatan terus digerogoti oleh perubahan iklim dan, meskipun memiliki pengetahuan itu, kami melihat pemerintah dan perusahaan masih memprioritaskan bahan bakar fosil,”
Keselamatan kita dan masa depan generasi mendatang bergantung pada langkah-langkah cepat dan serius untuk melawan perubahan iklim. (Z-10)
Terkini Lainnya
BMKG: Musim Kemarau 2024 akan Dihantui Kekeringan Parah Seperti 2023
Kesabaran di Tengah Kemarau
79% Wilayah Indonesia Sudah Masuk Musim Kemarau
Kalimantan Selatan Gelar Salat Minta Hujan
Krisis Air Meluas, Warga Tasikmalaya Mengeluh belum Ada Bantuan Pemerintah
Hadapi Karhutla 2023, Ini Strategi Pemerintah
Dampak El Nino, Puluhan Hektare Tanaman Jagung di Gersik Gagal Panen
Garis Kemiskinan RI Naik Diduga Gara-gara Bansos
Puluhan Hektare Sawah di Aceh Terancam Gagal Panen Akibat El Nino
Indonesia Masih Terdampak Fenomena El Nino, Kementan Siapkan Program Mitigasi
Kepala BMKG: Pengamatan Sistematis Dukung Analisis dan Prediksi Iklim
Tindakan Bulog Membeli Beras dari Kamboja Dinilai akan Menekan Petani Lokal
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap