visitaaponce.com

Perburuan Satwa Langka Tinggi karena Rendahnya Hukuman bagi Pelaku

Perburuan Satwa Langka Tinggi karena Rendahnya Hukuman bagi Pelaku
Dua ekor anak kucing hutan atau biasa disebut kucing kuwuk, yang merupakan satwa dilindungi.(Antara)

Yayasan konservasi World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia menegaskan bahwa praktik perburuan liar satwa dilindungi adalah kejahatan serius sehingga dibutuhkan komitmen konkret dari pemerintah untuk menghentikannya.

"Terus terang, susah berbicara tentang fenomena ini. Kami prihatin sekali dan menganggapnya kejahatan serius," kata Direktur Utama Yayasan konservasi WWF Indonesia Aditya Bayunanda di Jakarta, Kamis (9/11).

Menurutnya, perburuan menjadi kejahatan serius karena memiliki dampak buruk yang begitu besar. Itu bukan hanya menyebabkan kepunahan spesies tertentu namun juga mengganggu rantai ekosistem di hutan.

Baca juga: Pelestarian Badak Sumatra di Kalimantan Dilakukan Lewat Bayi Tabung

Gangguan tersebut berimplikasi terhadap beberapa hal yang umum dirasakan masyarakat di sekitar kawasan hutan Sumatera dan Kalimantan. Di antaranya, kebun warga rusak akibat hama babi. Poplulasi babi meningkat karena keberadaan pemangsanya, yakni harimau, kian langka akibat perburuan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2023 telah terjadi 1.098 kasus perburuan liar satwa dilindungi di Indonesia. Meski tidak secara spesifik menyebutkan jenis satwa yang menjadi korban, data tersebut setidaknya menunjukkan alasan keprihatinan WWF Indonesia.

Baca juga: Siantar Zoo Punya Satu Warga Baru, Susanti si Anak Tapir

Aditya mengatakan praktik perburuan liar masih terus terjadi karena sangat rendahnya ancaman hukuman bagi pelaku.

Perburuan satwa dilindungi diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf (a) Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati dan Ekosistemnya. Di beleid tersebut, pelaku hanya dikenai sanksi berupa kurungan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

"Itu pun bisa remisi. Bisa-bisa sisa hukumannya dua atau hanya satu tahun penjara. Hukuman ini terlalu lunak dan tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku perburuan. Itu tidak sebanding dengan kerusakan yang mereka buat," tegas Aditya. (Ant/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat