visitaaponce.com

Kongres ke-41 APTIK Bahas Era Disruptif Terbaru dan Kerapuhan Mental di Kampus

Kongres ke-41 APTIK Bahas Era Disruptif Terbaru dan Kerapuhan Mental di Kampus
Kongres ke-41 Aptik di Atma Jaya Jakarta(Unika Atma Jaya)

Sebanyak 22 yayasan pendidikan Katolik se-Indonesia yang mengelola 23 perguruan tinggi Katolik yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (Aptik) menggelar kongres ke-41 di Jakarta. Dalam kongres tersebut, salah satu tema yang dibahas adalah munculnya paradigma baru Brittle, Anxiety, Non-Linear, dan Illusion of predictability (BANI) yang merupakan era disruptif baru di lingkungan pendidikan kampus. Fenomena itu menggeser paradigma lama yaitu Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA). Kongres juga menyoroti dampak signifikan kurikulum pengajaran dengan merebaknya femonena kerapuhan mental di kampus.

Unika Atma Jaya Jakarta terpilih menjadi tuan rumah dari kongres yang berlangsung pada 21-23 Maret 2024. Pertemuan antarpimpinan yayasan dan juga petinggi universitas itu sekaligus bertepatan dengan HUT ke-40 Aptik yang juga dibuka dengan Perayaan Ekaristi oleh Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo.

Ketua APTIK Kusbiantoro mengatakan, selain membahas fenomena era disrupsi baru, ada juga sejumlah persoalan serius lain yang menjadi agenda kongres. Salah satunya adalah kolaborasi intensif dalam skala yang lebih luas, tidak sekadar di level mahasiswa dan dosen, tetapi juga penggunaan aset-aset unggulan kampus untuk kepentingan bersama. Kemudian, tentang penyelenggaraan program dual degree dengan perguruan tinggi ternama luar negeri lainnya.

Baca juga : Tingkatkan Capaian SDGs, UP Bersinergi dengan Enverga University

"Paradigma VUCA menguasai pemikiran global di awal 90-an dan kini bergeser ke paradigma BANI yang muncul sejak 2020 sebagai akibat pengaruh globalisasi yang menciptakan kompleksitas dan ketidakpastian meluas di dunia. Konsep dari Brittle dari BANI memunculkan the illusion of strength, yaitu pandangan bahwa lembaga yang kita anggap kuat ternyata rapuh," ujar Kusbiantoro melalui keterangan tertulis, Jumat (22/3).

Sedangkan Anxiety, memunculkan the illusion of control, apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan yang dihadapi. Sementara konsep Non-Linear menghasilkan the Illusion of predictability seperti kemunculan pandemi Covid-19, chat GPT, dan disrupsi teknologi lainnya. Dan terakhir, mengenai konsep Illusion of predictability dari paradigma BANI tadi, yang menghasilkan the illusion of knowledge seperti limpahan data dan informasi ternyata justru ikut menghasilkan limpahan hoax yang luar biasa.

“Aptik merasa perlu mengantisipasinya melalui segala bentuk adaptasi yang diperlukan guna mencegah terjadinya kerapuhan mental yang kini kian meluas di lingkungan kampus-kampus di dalam dan di luar negeri. Kecemasan,depresi dan bunuh diri yang terjadi itu merupakan bagian dari illusion of control,” jelasnya.

Baca juga : Tolak Pinjol Jadi Opsi Bayar UKT, Komisi X DPR Usul Perbaharui Struktur Anggaran Pendidikan

Kusbiantoro menambahkan, meski angka persoalan kesehatan mental belum terdata secara akurat, itu sudah cukup menjadi keprihatinan bersama.

"Asosiasi merasa perlu kerja sama agar mahasiswa tidak merasa terisolasi dan bagaimana lembaga konseling dapat secara tepat mengenali gejala yang ada dan secara tepat juga bisa mengatasinya,” tandasnya.

Sementara itu, ketua Yayasan Atma Jaya, Linus M. Setiadi, mengungkapkan agenda yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bentuk kolaborasi dalam skala yang lebih luas, baik dari kalangan internal Aptik sendiri, pemerintah, dan dunia industri.

“Selain membahas adaptasi kurikulum terhadap paradigma disrupsi yang terbarukan ini, kolaborasi dan pengembangan kepedulian sebagai identitas Katolik untuk bisa menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan di tengah masyarakat sudah saatnya dilakukan secara simultan bersama dan fokus,” kata Linus. (RO/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat