visitaaponce.com

Metode Skrining Kemenkes pada Calon Dokter Spesialis Dipertanyakan

Metode Skrining Kemenkes pada Calon Dokter Spesialis Dipertanyakan
Ilustrasi: dokter spesialis kebidanan dan kandungan memeriksa janin ibu hamil dengan peralatan Ultrasonografi (USG)(Antara)

PENGURUS Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr Iqbal Mochtar menilai metode skrining kesehatan jiwa pada 12.121 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perlu ditinjau ulang.

"Menurut saya itu perlu dikalibrasi dulu. Kita tahu apakah metode skrining sudah dilakukan uji validitas dan reliability di Indonesia. Apakah questionnaire yang dibuat tahun 2001 itu yang telah berlangsung selama lebih 20 tahun ini itu masih relevan digunakan di Indonesia saat ini. Kalau kita baca pertanyaan-pertanyaannya banyak yang sudah tidak relevan," kata Iqbal saat dihubungi, Rabu (17/4).

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan bahwa 22,4% peserta PPDS mengalami gejala depresi. Di antaranya 16,3% gejala depresi ringan; 4% gejala depresi sedang; 1,5 gejala persen dengan depresi sedang-berat; dan 0,6 persen gejala depresi berat.

Baca juga : Beban Ekonomi Timbulkan Potensi Depresi Calon Dokter Spesialis, Pemberian Insentif Harus Dikaji

Hasil tersebut merupakan skrining kesehatan jiwa yang menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9). Kuesioner dijawab oleh total 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024.

"Alat yang digunakan untuk mengukur kadar stres itu PHQ-9 yang merupakan sebuah tool yang sangat sederhana dibuat tahun 2001 di Amerika Serikat dan relevansinya di Indonesia ini masih dipertanyakan. Hanya dengan menggunakan 5-10 pertanyaan bagaimana kita bisa mendeteksi orang ingin melakukan bunuh diri," ujar dia.

Penelitian PHQ-9 untuk skrining. Sehingga diperlukan pemeriksa, pertanyaan, dan beberapa tindakan lanjutan. Sehingga sensitivitas alat ini untuk digunakan untuk mendeteksi depresi pada mahasiswa PPDS itu.

Baca juga : Skrining Awal pada PPDS Diharapkan Bisa Antisipasi Gejala Stres

Selain itu daftar pertanyaan yang diajukan dari metode tersebut juga sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Sehingga ia menyayangkan langkah Kemenkes yang tidak bijak seharusnya ada proper channel of communication agar divalidasi,.

"Berdasar questionnaire yang jumlahnya sekitar 5-10, kemudian-kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum, dan kemudian kesimpulan itu langsung disebarkan kepada masyarakat. Ini tidak tepat kalau menurut saya. Mestinya ada proper channel of communication," ungkapnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan pada dasarnya Kemenkes bisa melakukan tindak lanjut. Melakukan skrining deskriptif dan analisa kualitatif untuk tahu secara jelas latar belakang, penyebab dan pengaruhnya.

Baca juga : Perlu Pendekataan Kewilayahan untuk Distribusi Dokter Spesialis

"Pada peserta PPDS sedang dan berat maka diobati dengan pendekatan psikologis dan bila mungkin medikamentosa," ujarnya.

Pemerintah perlu membantu ketersediaan sarana dan prasarana sehingga pendidikan dokter spesialis dapat berjalan dengan baik.

"Karena memang bangsa memerlukan dokter spesialis untuk pelayanan kesehatan kita," pungkasnya. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat