visitaaponce.com

Ancaman Perang Dunia III dari Laut China Selatan

Ancaman Perang Dunia III dari Laut China Selatan
Armada Angkatan Laut Tiongkok di Laut China Selatan(AFP/STR)

PADA 19 Juli 2023, terdapat pemutaran perdana dua film yang membawa makna berbeda. Barbie dan Oppenheimer berhasil mencuri perhatian publik dengan genre masing-masing. Barbie membawa kesan dan kenangan masyarakat dunia terhadap mainan boneka yang menjadi teman kecilnya, sedangkan Oppenheimer membawa pesan terkait dengan bahaya yang ditimbulkan dari penemuan bom atom.

Tidak hanya pesan tersebut yang dibawa kedua film ini. Barbie, misalnya, ternyata tidak mulus begitu saja bisa ditayangkan di berbagai negara. Pasalnya, dalam cuplikan videonya terdapat peta yang menunjukkan klaim sepihak Tiongkok terhadap Laut China Selatan. Adegan itu membuat Vietnam marah dan berimbas pada dibatalkannya penayangan film Barbie di negara tersebut. 

 

Sementara itu, Oppenheimer, seperti kita tahu, menggambarkan seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari Perang Dunia II dan bahayanya apabila terjadi perang bom atom ataupun bom nuklir.

Baca juga: Sekjen ASEAN: Ada Kemauan Politik untuk Percepat Perundingan Tata Perilaku Laut Cina Selatan

Kemarahan Vietnam yang ditunjukkan dengan pelarangan penayangan film Barbie seperti membuktikan rentannya konflik terjadi akibat tumpang-tindihnya perbatasan di Laut China Selatan. Jika terjadi kesalahan sedikit saja, kemungkinan konflik yang terjadi di Laut China Selatan dapat menimbulkan perang proxy di wilayah tersebut. Apalagi, terdapat enam negara yang memperebutkan batas negara di wilayah Laut China Selatan.

Letupan kecil di Laut China Selatan

Konflik di Laut China Selatan sebenarnya diawali dari klaim sepihak Tiongkok terhadap batas wilayah lautan mereka. Dengan menggunakan 9 garis putus-putus tradisional yang sering digunakan untuk melaut para nelayannya, Tiongkok mengklaim hampir 90% dari wilayah Laut China Selatan menjadi wilayah mereka. Klaim ini kemudian membuat berbagai negara tetangga, termasuk Indonesia, tidak terima. 

Baca juga: Ini Dampak 2 Bibit Siklon Bagi Sejumlah Wilayah di Indonesia

Jika mengikuti klaim Tiongkok, beberapa negara harus kehilangan wilayah laut. Misalnya, Brunei harus rela kehilangan hampir keseluruhan laut karena diklaim Tiongkok. Belum lagi Filipina yang sangat berdekatan dengan Tiongkok, harus rela kehilangan wilayah tangkapan ikan jika mengikuti klaim tersebut.

Padahal, jika dilihat dari hasil Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) PBB 1982, batas-batas wilayah di Laut China Selatan sudah jelas dan disepakati secara bersama-sama. Bahkan, jika aturan ini digunakan, dipastikan tidak ada tumpang-tindih batas wilayah lautan pada setiap negara. 

Karena adilnya aturan ini, banyak negara ASEAN berupaya mempertahankan wilayah lautnya berdasarkan hukum yang telah disepakati bersama ini.

Enggan mengakui hasil kesepakatan tersebut, Tiongkok sering kali melakukan konfrontasi kepada negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut China Selatan. Bahkan, tidak segan Tiongkok berupaya mengusir nelayan-nelayan yang sebenarnya masih berlayar dalam kedaulatan laut negara mereka. Gesekan inilah yang kemudian membuat beberapa negara mulai geram dan berupaya melemahkan pengaruh Tiongkok di Laut China Selatan.

Mengundang Amerika Serikat

Agresifnya Tiongkok di wilayah Indo-pasifik ternyata mengundang kehadiran militer Amerika Serikat (AS). Apalagi, ‘Negara Paman Sam’ itu juga mempunyai kepentingan sendiri untuk mempertahankan Taiwan yang merupakan partner strategis dalam pembuatan chipset. 

Selain itu, AS juga telah lama perang dingin dengan Tiongkok, baik dari segi ekonomi maupun memperebutkan pengaruh di luar negeri.

Perebutan perbatasan di Laut China Selatan seperti menjadi peluang bagi AS untuk turut terlibat. Menjaga keamanan dan perdamaian regional menjadi alasan kuat yang diberikan AS dalam memperkuat kehadiran di Laut China Selatan. 

Apalagi, bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok, tetapi tidak mempunyai militer yang kuat, bekerja sama dengan AS menjadi pilihan paling rasional untuk mempertahankan wilayahnya.

Hal ini yang terjadi pada Filipina yang kemudian mengizinkan AS untuk membuka pangkalan militer di wilayah mereka. Kerja sama pertahanan ini diambil Filipina karena sudah merasa kesal dengan keinginan Tiongkok untuk mengambil wilayah lautnya. 

Selain itu, lemahnya armada pertahanan Filipina juga menjadi alasan lainnya untuk membuka jalan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat.

 

Memang AS tidak datang secara tiba-tiba di Laut China Selatan atau wilayah Indo-Pasifik. Selama ini, sebenarnya AS telah memiliki beberapa markas militer di negara-negara sekutunya. Markas militer AS di Indo-Pasifik sebelumnya tersebar di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Pulau Mariana Utara, Guam, Kepulauan Marshall, dan Australia. Penambahan markas militer di Filipina seperti memperkuat simpul pertahanan AS yang mengepung Tiongkok di Indo-Pasifik.

Markas militer di Laut China Selatan dan Pasifik ini bergerak di bawah naungan US Indo-Pacific Command. Diperkirakan, dari misi ini terdapat 375.000 pasukan, 200 unit kapal laut, dan 1.100 pesawat tempur yang diterjunkan untuk memperkuat pengaruh Amerika Serikat di Indo-Pasifik. 

Kehadiran militer AS, pada akhirnya, membuat Tiongkok geram dan melakukan kritik keras. Bahkan, Tiongkok mengatakan kehadiran AS justru memperkeruh situasi perdamaian di Laut China Selatan. Tiongkok juga mengancam bahwa kehadiran militer AS dapat meningkatkan eskalasi konflik di Laut China Selatan.

Perhatian khusus bagi ASEAN

Semakin tingginya eskalasi konflik yang terjadi di Laut China Selatan membuat ASEAN tidak tinggal diam. Apalagi, banyak negara ASEAN memiliki kepentingan untuk menjaga wilayah masing-masing di kawasan tersebut. Topik inilah yang kemudian diangkat pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-56, di Jakarta. 

Dari hasil pertemuan tersebut, ASEAN menolak keras terjadinya perang proxy di Laut China Selatan. ASEAN juga tetap ingin mempertahankan wilayahnya dengan menolak klaim sepihak Tiongkok yang menggunakan 9 garis putus-putus sebagai acuan batas wilayah. 

Menurut ASEAN, batas wilayah yang sah dan harus digunakan ialah hasil Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) PBB 1982.

ASEAN juga menghadirkan solusi dengan menggunakan Code of Conduct (COC) yang akan mengatur perselisihan di Laut China Selatan dengan Tiongkok. Solusi inilah yang kemudian terus didorong ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan. 

Sambil menunggu kesepakatan dalam COC ini, ASEAN memastikan akan terus bersifat netral dan mempromosikan perdamaian di kawasan Laut China Selatan. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat