visitaaponce.com

Praktik Diskriminatif di Harvard Digugat

Praktik Diskriminatif di Harvard Digugat
Universitas Harvard dituntut karena dugaan penerimaan diskriminatif dalam penerimaan mahasiswa.(AFP)

DEPARTEMEN Pendidikan Amerika Serikat (AS) telah membuka penyelidikan atas dugaan penerimaan diskriminatif dalam penerimaan mahasiswa di Universitas Harvard. Praktik umum di kampus AS itu kerap menjadikan preferensi dari alumni serta lembaga donor sebagai pertimbangan utamanya.

Pengumuman itu disampaikan dalam konferensi pers, Selasa (25/7), yang dilakukan Pengacara Hak Sipil, salah satu organisasi yang mengadukan praktik tersebut awal bulan ini.

"Sederhananya, Harvard berada di sisi sejarah yang salah," kata Direktur Litigasi kelompok itu Oren Sellstrom.

Baca juga : Jauhkan Intoleransi dan Diskriminasi dari Lingkungan Pendidikan di Indonesia

Dalam sebuah surat kepada Pengacara Hak Sipil tertanggal Senin (24/7), Departemen Pendidikan AS menjelaskan penyelidikan sama sekali tidak menyiratkan bahwa mereka telah membuat keputusan atas dasar pengaduan tersebut.

Kantor Hak Sipil (OCR) akan menangani penyelidikan akan menekankan penyelidikan ini pada dugaan penerimaan mahasiswa berdasarkan ras. Kantor tersebut bertanggung jawab untuk memastikan kepatuhan Harvard terhadap Judul VI Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, yang melarang diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, atau asal kebangsaan. 

“Selama penyelidikan, OCR adalah pencari fakta yang netral, mengumpulkan dan menganalisis bukti yang relevan dari pengadu, pihak universitas, dan sumber lain, sebagaimana mestinya,” jelas surat itu.

Baca juga : Mulai Tahun Ini, Harvard Hadirkan Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Demonstran memprotes di luar Mahkamah Agung di Washington, Kamis (29/6), setelah Mahkamah Agung membatalkan tindakan afirmatif dalam penerimaan mahasiswa. Mereka mengatakan ras tidak bisa menjadi faktor pertimbangan. Beberapa hari setelah Mahkamah Agung melarang tindakan afirmatif dalam penerimaan perguruan tinggi, para aktivis mengatakan mereka akan menuntut Harvard atas penggunaan preferensi anak-anak alumni.

Praktik penerimaan mahasiswa berdasarkan preferensi alumni tersebar luas di perguruan tinggi dan universitas AS. Tetapi setelah keputusan Mahkamah Agung pada bulan Juni untuk melarang ras sebagai faktor dalam penerimaan perguruan tinggi, beberapa advokat mempertanyakan preferensi.

Keluhan terhadap sistem penerimaan mahasiswa di Harvard, yang diajukan pada 3 Juli, menyatakan bahwa hampir 70% dari mereka yang mendapat manfaat adalah orang kulit putih. Isu lain preferensi dari donor atau alumni menjadi pertimbangan kuat untuk calon mahasiswanya.

Baca juga : Kembali Dibuka, Perempuan Masih Dilarang ke Universitas di Afganistan

“Persentase yang diterima secara otomatis di Harvard ini tidak adil dan membuat anak muda kita kehilangan persamaan,” kata Zaida Ismatul Oliva, kepala Proyek Chica, salah satu dari tiga kelompok yang bekerja sama dengan Pengacara Hak Sipil dalam pengaduan tersebut.

Beberapa universitas dan perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir telah mengabaikan isu tersebut. Baru bulan ini, Universitas Wesleyan - perguruan tinggi seni liberal swasta di Connecticut - mengakhiri praktik tersebut, begitu pula kampus Kota Kembar Universitas Minnesota, bagian dari sistem universitas negeri negara bagian.

Kampus top lainnya, seperti Universitas John Hopkins, mengakhiri penggunaan preferensi alumni jauh sebelum keputusan Mahkamah Agung. Ronald Daniels, presiden Johns Hopkins, menjelaskan keputusannya dalam artikel pada 2020 untuk majalah The Atlantic, dengan mengatakan bahwa, sebagai orang Kanada, tradisi mengunggulkan anak-anak alumni dan donatur adalah hal yang asing baginya.

Baca juga : Lingkungan Belajar Harus Bebas dari Praktik Diskriminasi dan Intoleransi

“Ketika saya menjadi presiden Universitas Johns Hopkins 10 tahun yang lalu, saya menemukan bahwa satu dari delapan mahasiswa baru mendapat manfaat dari preferensi yang diberikan kepada kerabat alumni. Saya tidak pernah berdamai dengan prevalensi bentuk hak istimewa turun-temurun ini di pendidikan tinggi Amerika, terutama mengingat komitmen yang tertanam kuat di negara ini terhadap cita-cita prestasi dan kesempatan yang sama.”

Tetapi beberapa institusi enggan untuk melepaskan penerimaan preferensi alumni, terutama ketika memberi insentif pada donasi dan loyalitas kampus. Namun demikian, Harvard, salah satu universitas paling bergengsi dalam sistem swasta Ivy League, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka akan meninjau praktik penerimaannya dengan tujuan mempromosikan keragaman.

(Aljazeera/Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat