visitaaponce.com

Kebijakan Satu Tiongkok dan Dinamika Hubungan dengan Taiwan

Kebijakan Satu Tiongkok dan Dinamika Hubungan dengan Taiwan
Pengertian kebijakan satu Tiongkok(AFP)

DALAM sidang konfirmasi Senat, calon Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, menguatkan komitmen Amerika Serikat (AS) terhadap Taiwan, 11 Januari kemarin. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Hubungan Taiwan dan Enam Jaminan. Pernyataannya menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengubah kebijakan "Satu Tiongkok" Amerika Serikat.

Kebijakan "Satu Tiongkok"  merupakan pengakuan diplomatik terhadap posisi Tiongkok bahwa hanya ada satu pemerintahan Tiongkok. Dengan adanya Republik Rakyat Tiongkok (PRC) dianggap sebagai satu-satunya pemerintah hukum Tiongkok. Namun, AS juga tidak mengakui klaim kedaulatan Beijing atas Taiwan dan hanya mengakui posisi Tiongkok bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok.

Asal mula kebijakan ini dimulai sejak tahun 1949 setelah berakhirnya Perang Saudara antara Taiwan dan Tiongkok. Kuomintang (KMT) mundur ke Taiwan, dan AS awalnya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan Tiongkok. Namun, pada 1979, AS beralih mengakui PRC dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Baca juga: Indonesia Hormati Kebijakan Satu Tiongkok

Tetapi, AS tetap menjaga hubungan "tidak resmi yang kuat" dengan Taiwan melalui American Institute in Taiwan dan terus menjual senjata untuk membantu Taiwan mempertahankan diri. Taiwan, meskipun tidak diakui sebagai negara independen oleh sebagian besar dunia, telah menjaga hubungan ekonomi dan budaya yang kuat dengan tetangga-tetangganya dan memanfaatkan hubungan emosional dengan AS.

Perkembangan hubungan antara Tiongkok dan Taiwan mengalami fase rekonsiliasi pada 1987-2015, dengan pertemuan pemimpin kedua pihak dan peningkatan hubungan perdagangan. Meskipun ada usaha rekonsiliasi, masih terdapat perbedaan pandangan tentang status Taiwan.

Pada saat yang sama, Jepang juga menolak klaim atas Formosa dan Kepulauan Pescadores oleh Tiongkok dalam Traktat Perdamaian San Francisco tahun 1951.

Baca juga: Pelaku Pasar Menanti Janji Tiongkok di 2024

Situasi terkini menunjukkan komitmen AS terhadap kebijakan "Satu China," tetapi juga menekankan pentingnya menjaga hubungan yang kuat dengan Taiwan. Hingga kini hubungan antara Tiongkok dan Taiwan masih menjadi isu sensitif dengan potensi dampak geopolitik yang signifikan.

Sejarah Konflik Tiongkok-Taiwan 

Dalam konteks hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Taiwan, Enam Jaminan menjadi poin kunci dalam menggarisbawahi sikap dan kebijakan AS terhadap pulau tersebut. Enam Jaminan ini muncul sebagai respons terhadap komunike ketiga AS-Tiongkok yang ditandatangani pada 17 Agustus 1982, yang menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap Taiwan.

Dalam komunike tersebut, AS menyatakan ketidakberkeinginan untuk menjalankan kebijakan penjualan senjata jangka panjang kepada Taiwan. Amerika Serikat juga menegaskan bahwa penjualan senjata ke Taiwan tidak akan melebihi tingkat penjualan dalam beberapa tahun terakhir dan bahwa niatnya adalah secara bertahap mengurangi penjualan senjata, menuju pada suatu saat nanti resolusi akhir.

Presiden Ronald Reagan merespons, kekhawatiran terkait kemungkinan dampak komunike terhadap Taiwan, menempatkan memorandum rahasia yang menyatakan bahwa kesiapan AS untuk mengurangi penjualan senjata ke Taiwan tergantung pada komitmen berlanjut Tiongkok terhadap solusi damai atas perbedaan di Selat Taiwan.

Untuk memberikan kepastian lebih lanjut, Reagan meminta Kepala Institut Amerika di Taiwan (AIT), James Lilley, untuk menyampaikan secara lisan enam jaminan atas nama presiden. Keenam jaminan tersebut mencakup ketidaksetujuan untuk menetapkan tanggal penghentian penjualan senjata, tidak melakukan konsultasi sebelumnya dengan Tiongkok terkait penjualan senjata, tidak memainkan peran mediasi, tidak merevisi Undang-Undang Hubungan Taiwan, tidak mengubah posisi mengenai kedaulatan atas Taiwan, dan tidak memberikan tekanan kepada Taiwan untuk memasuki perundingan dengan Tiongkok.

Enam Jaminan ini menjadi fondasi kebijakan AS terhadap Taiwan dan mencerminkan kompleksitas dinamika hubungan antara Tiongkok, Taiwan, dan peran AS sebagai pemain kunci dalam menjaga keseimbangan di kawasan tersebut. Berikut adalah penjelasannya

1. Asal Mula Sejarah Taiwan (Abad ke-7 - 1895)

Taiwan dianggap sebagai bagian dari RRC sejak awal abad ke-7. Pada 1646, Belanda menguasai Taiwan, tetapi diusir oleh pengungsi China pada 1661. Hingga 1895, Taiwan diserahkan kepada Jepang setelah kekalahan RRC dalam perang.

2. Periode Perang Sipil dan Pembentukan Tiongkok (1945 - 1949)

Pasca-Jepang menyerah pada 1945, perang sipil antara Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) dan Partai Komunis China (PKC) berlanjut. Pada 1949, setelah KMT mundur ke Taiwan, terbentuk Republik Rakyat China (RRC) di daratan Tiongkok.

3. Pembentukan Republik China (ROC) di Taiwan (1949)

Kelompok politik-militer, yaitu Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) di bawah Chiang Kai-Shek mendeklarasikan Taipei sebagai ibu kota ROC pada Desember 1949. Taiwan menjadi sekutu AS dalam Perang Korea pada 1950, di mana AS melindungi pulau tersebut.

4. Isolasi dan Pengakuan PBB terhadap Tiongkok (1971)

Pada 1971, Deklarasi Kairo mengembalikan wilayah yang direbut Jepang ke China, termasuk Taiwan. RRC mendapat pengakuan di PBB, sementara ROC kehilangan statusnya. AS tetap menjaga hubungan perdagangan dan militer dengan Taiwan, mendukung "One China Policy."

5. Rekonsiliasi dan Hubungan Perdagangan Meningkat (1987 - 2015)

Sejak akhir 1987, upaya rekonsiliasi antara Tiongkok dan Taiwan dimulai. Pada 1991, Taiwan mengakhiri keadaan perang dengan Tiongkok. Pemilu 2000 melihat KMT kehilangan kekuasaan, membuka jalan bagi peningkatan hubungan perdagangan. Pada 2010, China dan Taiwan menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi.

6. Pembicaraan Tingkat Tinggi dan Pertemuan Pemimpin (2008 - 2015)

Pada 2008, pembicaraan tingkat tinggi antara RRC dan Taiwan dilanjutkan setelah terpilihnya presiden yang mendukung hubungan baik dengan Beijing. Pada 2015, pemimpin keduanya bertemu di Singapura, menandai pertemuan tingkat tinggi terbaru, meskipun tanpa pernyataan bersama.

Berakhirnya perang saudara antara Tiongkok-Taiwan 

Pada 2008, pembicaraan tingkat tinggi antara RRC dan Taiwan dilanjutkan setelah terpilihnya presiden yang mendukung hubungan baik dengan Beijing. Pada 2015, pemimpin keduanya bertemu di Singapura, menandai pertemuan tingkat tinggi terbaru, meskipun tanpa pernyataan bersama.

Berakhirnya Perang Saudara China pada 1949 mengakibatkan pembentukan Republik Rakyat China (RRC) di daratan, sementara Republik China (ROC) berdiri di Pulau Taiwan. Meskipun terpisah, Taiwan menjadi pusat persaingan, dengan RRC terus berupaya menyatukannya, menganggapnya sebagai wilayahnya. Namun, penduduk Taiwan memiliki pandangan yang berbeda, merasa memiliki negara yang terpisah.

Penduduk asli Taiwan berasal dari suku Austronesia, dan sejak abad ke-17, migran dari China, terutama dari provinsi Fujian dan Guangdong, datang ke pulau ini. Pendudukan Belanda pada 1624-1661 dan pemerintahan dinasti Qing China dari 1683 hingga 1895 menciptakan lapisan sejarah yang kompleks.

Pada 1895, Jepang memenangkan Perang Sino-Jepang Pertama dan mendapatkan Taiwan dari China. Setelah Perang Dunia II, Jepang menyerahkan Taiwan kepada ROC, yang mulai memerintah pulau ini dengan dukungan AS dan Inggris. Sementara itu, pecahnya Perang Saudara China antara Nasionalis Kuomintang dan Komunis memicu ketidakpastian di daratan China.

Meskipun terdapat usaha damai antara KMT dan Komunis, Perang Saudara pecah, dan pada 1949, KMT yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan setelah kekalahan dari pasukan Komunis Mao Zedong. Hal ini menyebabkan terbentuknya pemerintahan otoriter di Taiwan yang bertahan bertahun-tahun.

Pada 1990-an, Taiwan mengalami demokratisasi di bawah pimpinan Presiden Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian, mencapai pemilihan presiden non-KMT pertama pada tahun 2000. Namun, status Taiwan tetap menjadi perdebatan global, dengan China mengklaimnya sebagai provinsi yang memisahkan diri, sementara Taiwan bersikeras sebagai negara berdaulat.

Pertanyaan tentang status Taiwan menciptakan ketidaksepakatan global, dan meskipun sejumlah negara mengakui ROC secara diplomatik, sebagian besar menghindari ambiguitas tersebut. Dengan memiliki konstitusi, pemimpin terpilih, dan angkatan bersenjata sendiri, Taiwan mempertahankan ciri-ciri negara merdeka, meskipun status hukumnya tetap menjadi titik tumpu ketidakpastian. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat