visitaaponce.com

NTT Kerja Keras Turunkan Stunting jadi 31,1 pada 2025

NTT Kerja Keras Turunkan Stunting jadi 31,1% pada 2025
Rembuk Stunting Tingkat Provinsi NTT Tahun 2024 di Kupang, Senin (27/5).(MI/PALCE AMALO)

SEMUA intansi di Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja keras untuk menurunkan prevalensi stunting di daerah itu menjadi 31,1% pada 2025. Untuk mencapai target itu, pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp108,4 miliar.

Sesuai data Survei Kesehatan Indonesia (SKI), persentase stunting di NTT pada 2018 sebesr 42,6% , berhasil diturunkan menjadi 37,9% pada 2023 atau turun sebesar turun sebesari 4,7%. Hal itu terungkap dalam Rembuk Stunting Tingkat Provinsi NTT Tahun 2024 di Kupang, Senin (27/5).

Kegiatan yang dihadiri BKKBN dan perwakilan dari berbagai instansi ini menyepakati sejumlah langkah dan scenario yang akan ditempuh bersama-sama untuk menurunkan prevalensi stunting sesuai target yang ditetapkan tersebut.

Baca juga : Pemprov Aceh Diminta Kerja Ekstra Keras Turunkan Stunting

Prevalensi stunting di NTT sesuai data SKI  itu memang beda jauh jika dibandingkan prevalensi stunting menurut Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM, yakni sebesar 15,2% atau 61.961 orang pada Februari 2024.

"Data (SKI) survei yang menjelaskan posisi keterwakilan, itu sudah dirilis oleh pemerintah, tapi kita tidak boleh mengesampingkan e-PPGBM, karena e-PPGBM itu by name dan by address dan sudah 98,5%," kata Kepala Bappeda NTT Alfonsius Theodorus kepada wartawan seusai kegiatan tersebut.

Menurutnya, NTT maupun provinsi maupun kabupaten lainnya akan mencontoh aplikasi aksi stunting yang dimiliki Sumedang,Jawa Barat. Daerah itu mengunakan basis data e-PPGBM.

Baca juga : Perempuan Indonesia Diajak Peduli ASI Berkualitas 

Kepala Badan Kependudukaan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) NTT Dadi Ahmad Roswandi yang menjadi salah satu pembicara dalam Rembuk Stunting tersebut menyebutkan, penanganan stunting di daerah ini lebih spesifik mengunakan pendekatan super prioritas. "Karena keterbatasan uang, kita berpikir ke depan apapun metodenya, stunting turun di NTT," ujarnya.

Menurutnya, penanganan stunting dimulai dari ibu hamil, ibu pascapersalinan dan baduta (bayi bawah dua tahun). "Kalau stuntingnya sampai 2 tahun, susah untuk diobati, jadi memang paling penting adalah pencegahannya," kata Dadi Ahmad Roswandi.

Sesuai catatan BKKBN, setiap hari 346 bayi lahir di NTT, dan 358.000 keluarga berisi stunting yang dipicu oleh masalah sanitasi hingga air minum yang layak. Saat ini, BKKBN NTT memiliki 1.200 tim pendamping keluarga di tiap desa, ada juga bidan ada kader KB dan PKK.

Akan tetapi, pengetahuan dan kemampuan dari 80 persen para petugas ini masih perlu ditingkatkan, serta alat timbang bayi atau antropometri juga harus memiliki standar yang baik. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat