visitaaponce.com

Individu Tuli dan Kesehatan Mental

Individu Tuli dan Kesehatan Mental
Grace Kurniadi(Dok pribadi)

ISTILAH kesehatan mental sering terdengar beberapa tahun ini. Kesehatan mental merupakan kesejahteraan emosional/psikologis, fisik, dan sosial. Hal ini dapat mempengaruhi cara individu berpikir, merasa dan bertindak. Orang-orang juga mulai sadar pentingnya sehat secara mental. Bersamaan dengan hal itu, layanan kesehatan mental mulai berkembang dari bentuk luring, kemudian luring dan juga gabungan. 

Layanan ini mulai dilirik dan semua orang berlomba untuk mengakses layanan kesehatan mental, termasuk individu disabilitas. Individu dengan disabilitas pun juga bisa mengalami masalah kesehatan mental. Terlebih pada salah satu disabilitas fisik, yaitu disabilitas rungu ataupun tuli.

Individu tuli memiliki penampilan fisik juga perasaan yang sama seperti individu dengar. Hal yang membedakan tuli dengan individu dengar adalah pada kemampuan mendengarnya. Menurut UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyebutkan inti bahwa setiap penyandang disabilitas ini memiliki hak yang sama seperti individu non disabilitas, termasuk akses dalam layanan kesehatan mental. Sayangnya, banyak layanan termasuk layanan kesehatan mental ini belum aksesibel bagi individu tuli. 

Belum aksesibel ini terlihat dari minimnya jasa interpreter, juru ketik ataupun juru bahasa isyarat yang menguasai bidang tertentu, khususnya pada bidang kesehatan mental ataupun, profesional juga kurang mau mengusahakannya menjelaskan dalam bentuk tulisan. Perilaku petugas layanan kesehatan mental pun terkadang diskriminatif terhadap kaum tuli, yang kurang mau sabar ataupun kurang mau berusaha menggunakan metode komunikasi lain.

Salah satu faktor tidak aksesibel ini, juga menjadi penyebab bahwa individu tuli juga memilih cara yang umum, yaitu mencari informasi sendiri melalui media sosial ataupun internet. Terkadang hal ini membuat tuli juga melakukan diagnosa sendiri dan juga meyakini sesuatu yang didapatkannya dari internet ataupun media sosial. Tanpa melalui penanganan profesional juga, tidak jarang tanda gejala yang dialami malah menjadi lebih parah.

Tidak jarang juga, individu-individu tuli yang mengalami kejadian traumatis tak mendapatkan penanganan yang tepat juga untuk menangani kesehatan mentalnya yang kurang baik. Hal itu terjadi hanya karena keterbatasan kemampuan untuk berkomunikasi, ataupun keterbatasan sumber daya individu dengar yang bisa berperan sebagai juru bahasa isyarat (JBI). Banyak tuli terpaksa bertahan dari hari ke hari hanya dengan mengandalkan dukungan satu sama lain, dari sesama tuli dan untuk tuli yang seringnya tanpa bantuan profesional.

Layanan bahasa isyarat

Tuli sebagai individu sebenarnya mempunyai hak untuk dapat mengakses layanan kesehatan secara mandiri apalagi terlebih secara luring. Namun karena tidak aksesibel, tuli sering kali membutuhkan bantuan orang lain untuk menerjemahkan dari bahasa lisan ke bahasa isyarat ataupun bahasa tulisan. Sebenarnya, informasi ini perlu disampaikan dengan sebenar-benarnya pada individu tuli. Seringkali orang dengar yang ditunjuk ataupun JBI kurang mampu memberitahukan informasi yang benar, termasuk ekspresi dari profesional itu sendiri. 

Hal ini juga tidak terlepas pada pengetahuan JBI ataupun orang dengar yang ditunjuk, tentang kosa isyarat kesehatan mental. Kurang umumnya kosa isyarat dalam segi kesehatan mental ini juga menyulitkan kedua belah pihak, baik dari pihak layanan kesehatan juga individu tuli untuk memahami hal yang sebenarnya terjadi pada badannya sendiri.

Tidak jarang dengan kondisi tersebut, tuli seringkali merasa tertinggal dan tidak bisa bertanya lebih lanjut. Individu tuli tersebut harus menuruti kata-kata yang disampaikan melalui orang yang ditunjuk, ataupun menjadi tidak nyaman saat JBI memberitahukan pada individu tuli yang sedang mengakses layanan kesehatan tersebut, karena JBI tersebut mengetahui kondisi mentalnya yang buruk ataupun tidak sehat. 

Sebaiknya, layanan kesehatan itu sendiri dapat menyediakan JBI yang tersumpah. Artinya, JBI ini tidak akan menyebarkan rahasia klien tuli pada orang lain. Akan lebih baik, jika dari profesional itu sendiri mau mempelajari bahasa isyarat juga memahami budaya tuli. Alangkah baiknya jika pendidikan bahasa isyarat ini diwajibkan dalam setiap layanan pemerintah, termasuk layanan kesehatan mental. 

Dengan diwajibkannya hal ini, semua profesional ini bisa membantu kaum tuli dalam mengakses layanan kesehatan mental ini. Namun JBI juga tetap disediakan untuk menjembatani antarprofesional dan klien tuli. Terlebih jika klien tuli menggunakan bahasa yang berbeda. Sebaiknya pendidikan bahasa isyarat ini menyesuaikan kembali dengan bahasa di daerahnya masing-masing, tetapi isi tetap mengacu pada pendidikan layanan kesehatan mental. 

Bahasa isyarat bukanlah seperti bahasa pemersatu, sehingga tetap dibutuhkan bahasa daerah, layaknya bahasa daerah yang banyak tersebar juga di seluruh Indonesia. Semua ini sebenarnya tidak lepas juga dari pendidikan, baik untuk individu tuli, profesional dan juga JBI serta individu dengar lainnya. Para profesional, juga JBI serta orang dengar lainnya bisa membantu untuk mengedukasi individu tuli melalui bahasa isyarat. 

Tidak semua individu tuli ini dapat memahami sepenuhnya hanya dari membaca saja, sehingga perlu adanya penjelasan dalam bahasa isyarat ataupun role play (bermain peran). Individu tuli yang tidak bisa memahami konsep, selain disebabkan oleh rendahnya pendidikan, bisa juga disebabkan oleh pendidikan itu tidak aksesibel bagi individu-individu tuli tersebut.

Tidak hanya individu dengar yang mendapatkan perlakuan tidak boleh menangis saat sedang sedih, marah, atau kesal. Individu tuli pun juga mendapatkan perlakuan ini, tidak jarang perlakuan ini malah paling umum didapatkan pada lingkup keluarga. Adanya pelarangan tidak boleh ini, tidak boleh itu, bahkan keharusan menampilkan hal positif saat perasaan di dalamnya sedang negatif, juga menyebabkan individu tuli ini mengalami perasaan depresi, cemas, dan perasaan negatif yang juga dirasakan seperti individu dengar lainnya. 

Jika menceritakan pada teman, belum tentu temannya akan mengerti. Atau jika dapat berbahasa isyarat pun, individu tuli tersebut juga tidak serta merta bisa membaik, karena tidak tahu hal yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama ataupun hal-hal yang dapat membuatnya merasa baik dari hari ke hari.

Pemahaman individu tuli juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Terlebih bila ia sudah berusaha untuk menceritakan pada temannya, mencari informasi dari internet, dan tidak kunjung membaik. Kembali lagi pada aksesibilitas, tidak semua bacaan terkait kesehatan mental ini tersedia dalam bentuk bahasa isyarat yang sekiranya dapat memudahkan pemahaman individu tuli. 

Jika semua layanan, termasuk pendidikan dan kesehatan mental ini mudah diakses, juga tidak adanya keharusan tuli harus bisa berbicara. Mungkin individu tuli itu juga akan lebih mudah memahami, dan dapat melakukan mekanisme koping yang sekiranya dapat membantu tuli untuk meregulasi emosi juga tindakannya. 

Indonesia masih punya pekerjaan rumah yang panjang untuk menjadi negara yang ramah tuli bagi masyarakat tuli yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari membenahi sistem pendidikan, sistem pelayanan umum termasuk layanan kesehatan mental. Tentunya hal ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, dan membutuhkan bantuan multidisiplin, supaya tidak mengulangi hal yang sama untuk menjelaskan poin penting, khususnya pada poin kesehatan mental.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat