visitaaponce.com

Darurat TPPO di Bulan Bung Karno

Darurat TPPO di Bulan Bung Karno
Ilustrasi MI(MI/Seno)

MEMASUKI Bulan Bung Karno, Juni 2023, DPR masih memasung RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang sudah ditunggu jutaan Sarinah. Meskipun DIM (daftar isian masalah) RUU PPRT sudah diterima DPR pada 16 Mei yang lalu, hingga hari ini pimpinan DPR belum juga melaporkannya ke Sidang Paripurna DPR RI.

Pembahasan RUU PPRT kembali disalip berbagai agenda lain yang datang lebih belakangan. Hingga 13 Juni 2023 yang lalu DPR sudah empat kali bersidang paripurna dan di Bulan Bung Karno DPR belum juga membahas nasib para Sarinah. Semoga sebelum masa sidang ditutup pada 14 Juli mendatang, DPR sudah membentuk panja dan mengesahkan UU PPRT untuk menjalankan ajaran Bung Karno.

Di masa lalu RUU PPRT usulan Baleg sempat tertahan selama 3,5 tahun di meja Ketua DPR sebelum diputuskan menjadi inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Selama itu, RUU PPRT disalip empat UU yang diusulkan belakangan setelah RUU PPRT. Logika urut kacang yang selama ini menjadi tradisi DPR tidak diberlakukan pimpinan DPR.

Sebelumnya, RUU PPRT yang bertujuan perlindungan kaum perempuan miskin itu tertunda selama 16 tahun karena tidak ada satu pun alat kelengkapan DPR mau menjadi inisiator. Sungguh menyedihkan jika kemudian ada lagi penundaan di meja pimpinan DPR. Penungguan selama 20 tahun itu keterlaluan karena mengabaikan ribuan PRT korban terus berjatuhan.

Dalam buku Sarinah, Bung Karno menegaskan bahwa para Sarinah (perempuan Indonesia) ialah saka guru bangsa. Rendahnya status perempuan mencerminkan kualitas yang buruk dari pelaksanaan doktrin nasional demokrasi (sosiodemokrasi), yang merupakan sila ketiga dari Trisila BK. Sementara itu, perekonomian kita yang masih berstruktur dualisme berutang kepada para perempuan miskin ini sebagai penyangga ekonomi informal, termasuk ekonomi perawatan (care economy).

Pada 16 Juni, Hari PRT Internasional yang bersamaan dengan Bulan Bung Karno harusnya menjadi saat yang tepat untuk melakukan reposisi terhadap sektor perawatan ekonomi. Selama ini, sektor informal tidak diurus negara sehingga bersifat eksploitatif dan berbahaya bagi perempuan. Negara diskriminatif terhadap sektor domestik, informal, dan ekonomi kerakyatan yang didominasi kaum perempuan.

Bung Karno menolak segregasi publik-domestik, keduanya terhubung, saling melengkapi sehingga kedudukan keduanya simetris alias berkesetaraan. Dalam kondisi yang sejajar demikian perempuan bebas keluar masuk atau berpindah tanpa dirugikan karena semua sektor bertujuan sama, yaitu kemakmuran bersama.

Perempuan Indonesia diharapkan BK untuk berdaulat. Ia bisa mendidik anak untuk revolusioner sehingga mereka juga harus revolusioner. Namun, perempuan juga bisa menjadi relawan rakyat sekaligus bisa berperan langsung mendukung revolusi.

Sayangnya, pada Bulan Bung Karno tahun ini justru ada kondisi darurat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang korbannya hampir 80% ialah para Sarinah. Ada kiriman dua mayat PMI per hari dari luar negeri, kata Kepala BP3MI. Data dari Jala PRT juga menekankan bahwa hingga Juni 2023, 11 PRT di dalam negeri juga dilaporkan menjadi korban kekerasan yang hampir selalu ada unsur TPPO-nya juga.

Sayangnya, satgas-satgas yang dibentuk Kapolri hanya berfokus pada TPPO untuk PMI yang akan ke luar/dalam negeri. UU PPRT belum disahkan sangat mungkin menjadi alasan mengapa satgas TPPO tidak menargetkan pula praktik TPPO untuk PRT. Para korban TPPO ialah perempuan miskin, berprofesi PRT baik di dalam maupun di luar negeri.

Nasib PRT Siti Khotimah yang saat ini sedang berjuang mendapatkan keadilan di PN Jakarta Selatan bisa memberikan gambaran nasib yang sama buruknya dengan para PMI. Ia disiksa beramai-ramai selama 1,5 bulan oleh sembilan orang karena keluarga pemberi kerja memaksa empat PRT lainnya untuk ikut menyiksa Siti.

Semua bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dialami Siti Khotimah. Kelaparan, dilukai fisik dan mental, diborgol, dan tidur di kandang anjing. Ditelanjangi, dubur dan vagina dimasuki benda keras, serta dua kaki diredam air mendidih hingga dagingnya hilang dan perlu ditambal daging dari paha.

Pendek kata, Siti Khotimah mengalami perbudakan modern. Ia diperlakukan layaknya bukan manusia bebas, melainkan direduksi sebagai benda milik pemberi kerja. Martabat kemanusiaan Siti dihancurkan melalui penyiksaan dan itu bisa terjadi karena korban disekap dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga.

Penetapan Hari PRT Dunia 16 Juni ialah peringatan atas lahirnya Konvensi ILO No 189 pada 2011. Konvensi itu berisi keharusan menciptakan kondisi kerja yang layak bagi para PRT sehingga praktik perbudakan bisa dicegah. Kelayakan itu dimulai dengan keharusan mengganti sebutan 'pekerja' bagi para PRT yang sebelumnya disebut sebagai 'pembantu'.

Penundaan pengesahan UU PPRT selama 20 tahun sejak diusulkan ke DPR pada 2004 sebenarnya merupakan pembiaran atas adanya praktik perbudakan para Sarinahnya BK. Jumlah korban yang mati, cacat, dan luka sudah tidak berbilang. Namun, DPR tidak juga menjadikan RUU PPRT sebagai suatu darurat dan kemendesakan.

Koalisi Sipil untuk UU PPRT mencatat bahwa DIM pemerintah sudah diserahkan pada 19 Mei 2023, tetapi pimpinan DPR tidak kunjung menanggapi. Para PRT tetap menjalankan aksi Rabuan di tengah panas dan hujan untuk mengingatkan pimpinan DPR. Tetap bergeming.

Banyak diskusi dan webinar tentang pemikiran Bung Karno di Bulan Bung Karno. Namun, kita belum menggunakan ajarannya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Marhaenisme atau Pancasila antiperbudakan dan penjajahan baik oleh antarorang maupun antarbangsa.

 

Marhaenisme vs politik populisme

Menguatnya politik populisme yang antikelompok miskin memang sedang mendominasi politik global. Politisi aliran kanan itu terutama berkembang di Eropa Barat dan di Asia.

Populisme merupakan wacana politik dalam gerakan sosial yang bertumpu pada konsep 'rakyat', tetapi diterjemahkan sesuai dengan kepentingan elite. Populisme mengembangkan wacana untuk menghilangkan pengaruh ekstern sehingga menimbulkan sentimen 'kelompok asli vs kelompok luar', misalnya, kelompok baik etnis maupun agama.

Pada praktiknya, politik populisme sering berwajah rasialisme, misalnya antiimigran, anti-Islam, anti-third sex yang diasosiasikan dengan kelompok minoritas dan miskin. Populisme itu wajah baru kolonialisme karena dibangun atas dasar relasi asimetris antarmanusia sehingga sangat feodalistis.

Politik populisme dikontrol elite sehingga diskriminasi, subordinasi, alienasi, eksploitasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap rakyat miskin merupakan strategi. Karena kelompok perempuan ada di strata paling bawah dari struktur sosial, perempuan miskin menjadi sasaran kebencian pula kelompok populis itu.

Perbudakan memang telah dilarang, tetapi di bawah sadar orang feodal masih menginginkannya dan itu dilakukan melalui praktik TPPO. Manusia hendak diperlakukan bagai benda dan dieksploitasi tenaganya. Praktik dehumanisasi itulah yang ditentang Bung Karno dengan marhaenismenya yang kemudian menjadi Pancasila.

Inti marhaenisme atau Pancasila ialah pemihakan kepada kerakyatan atau rakyat banyak (people), yang disebut kaum marhaen atau musta'afin, yaitu mereka yang tertindas secara struktural, dikalahkan sistem yang mereka tidak ikut membentuk. Sistem yang akhirnya mengeksploitasi dan memiskinkan orang miskin. Bung Karno menunjukkan kasus Pak Marhaen yang dimiskinkan sistem tanam paksa Belanda.

Karena penyebabnya ialah sistem yang tidak adil, marhaenisme mengajak kita melawan sistem yang buruk melalui revolusi. Sistem harus dibongkar total dan ditata ulang agar sesuai prinsip keadilan sosial yang memenangkan kepentingan rakyat. Demikian terus-menerus dilakukan, hingga terbentuknya sosialisme Indonesia yang berisi kesetaraan dan tanpa eksploitasi.

Menurut Sukarno (1964), marhaenisme ialah ideologi yang berkeinginan menghilangkan penindasan, penganiayaan, pemerasan, dan pengisapan serta menginginkan adanya masyarakat yang adil dan makmur melalui kemerdekaan nasional dengan adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Karena itu, Bulan Bung Karno sepatutnya menjadi momentum untuk merestorasi sistem agar tercipta demokrasi politik yang berkeadilan sosial. Glorifikasi pemikiran-pemikiran BK tanpa melaksanakan ajarannya tidak akan membawa perubahan-perubahan dan justru menghilangkan watak progresif marhaenisme/Pancasila.

Semoga DPR dan pimpinan DPR yang sedang menguasai DPR menunjukkan komitmen politik mereka pada kaum marhaen. Mencintai dan melindungi kaum Sarinah ialah ajaran marhaenisme. Sahkan UU PPRT karena Pancasila prokerakyatan, bukan proelite (populisme elite).

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat