visitaaponce.com

Melindungi Pekerja Migran Indonesia

Melindungi Pekerja Migran Indonesia
Fransiscus Go(Dok pribadi)

PADA April 2023, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) merilis Data Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Total  25.973 orang ditempatkan di sektor formal dan non-formal pada periode Mei 2023. Ini merupakan angka terdaftar secara resmi atas prakarsa pemerintah. 

Namun, bagaimana dengan pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengadu nasib ke luar negeri dengan upaya sendiri tanpa melalui program pemerintah? Banyak PMI pergi ke luar negeri dengan harapan untuk mengubah nasib dan hidup menjadi lebih baik. 

Tidak semua PMI pergi melalui jalur program pemerintah. Mereka pergi melalui agen-agen swasta atau mengusahakan jalur pribadi. Kebutuhan ekonomi menjadi pendorong utama bagi mereka untuk mencari nafkah di luar negeri. 

Bekerja di luar negeri dianggap sebagai peluang emas yang menjanjikan peluang finansial yang lebih baik. Tidak ada yang salah dengan usaha untuk mencari kehidupan lebih baik di negara lain. Bekerja di luar negeri tidak hanya memberikan kesejahteraan ekonomi bagi keluarga, tapi juga pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman pribadi. 

Hal ini juga meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dalam persaingan ekonomi global. Sebagai contoh, ada seorang pemudi dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Kondisi kehidupan yang sulit, pendidikan yang terputus, dan kemiskinan mendorongnya untuk pergi ke luar negeri.

Dengan tekad yang kuat untuk mengubah keadaan, dia pergi setelah mendengar tentang agen yang bisa membawanya bekerja di luar negeri. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Karena pendidikan yang rendah dan minimnya pengalaman, dia terjebak dalam skema pengiriman imigran gelap yang marak terjadi. Agen nakal membawa secara sembunyi-sembunyi melalui jalur ilegal. 

Akibatnya, dia diperas dan harus membayar sejumlah besar uang jika tidak ingin dianiaya. Sayangnya, dia tidak memiliki uang untuk meloloskan diri dari situasi tersebut. Akhirnya, dia terpaksa bekerja tanpa diupah atau menjadi pekerja ilegal. Impiannya hancur, dan dia tidak dapat mengirim uang kepada keluarganya atau bahkan pulang ke NTT dalam keadaan hidup.

Waspada perdagangan manusia

Kisah di atas mencerminkan banyaknya orang yang pergi ke luar negeri melalui jalur non-resmi dan menjadi korban perdagangan manusia. Faktor-faktor seperti pendidikan rendah dan rendahnya mutu hidup di daerah menjadi pendorong terjadinya kasus imigran gelap. 

Di NTT, kasus perdagangan manusia diyakini menjadi yang terbanyak belakangan ini. Agen nakal sulit terdeteksi, dan regulasi pemerintah belum menindak para pelaku dengan tegas. Peraturan dan kondisi global yang mengatur kebijakan pengiriman tenaga kerja juga belum transparan. Dengan demikian, masih banyak celah atau kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk beraksi.

Manusia, yang seharusnya menjadi subjek dan diperlakukan dengan kemanusiaan, seringkali dijadikan objek atau komoditas perdagangan. Dalam hal ini, pekerja migran menjadi kelompok yang rentan. Mereka menjadi kaum tak-bernyawa yang menunggu pembebasan dan pemulangan ke kampung halaman, mengingat situasi berat dan berbahaya yang mereka hadapi di luar negeri saat ini. 

Namun, apakah pemerintah bisa disalahkan jika terjadi tragedi kemanusiaan di mana pekerja migran pulang dalam keadaan tidak bernyawa, seperti yang sering terjadi belakangan ini? Mereka pergi secara diam-diam dan penuh harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di negara lain, tetapi malah kehilangan segalanya.

Skema perdagangan dan eksploitasi perdagangan manusia biasanya dipicu kondisi ekonomi yang sulit dari korban, sehingga mereka mencari bantuan dari pihak ketiga. Proses ini tidak resmi dan merupakan sindikat jaringan kriminal yang kuat dan terorganisir, karena mereka memiliki dana dan sistem yang sulit diberantas. 

Perekrutan dimulai di daerah asal, perekrut mencari migran melalui berbagai media seperti internet, agen tenaga kerja, dan kontak lokal. Penyelundup menyediakan migran dengan paspor atau visa palsu dan menyarankan mereka untuk menghindari pemeriksaan petugas pengawas perbatasan.

Penyelundup membantu proses migrasi melalui berbagai moda transportasi, termasuk darat, udara, dan laut. Para korban seringkali pergi ke negara tujuan secara diam-diam dan tidak menyadari bahwa mereka sedang direkrut untuk skema perdagangan manusia. 

Beberapa mungkin diculik atau dipaksa, sementara banyak lainnya disuap dan diiming-imingi dengan kesempatan kerja palsu. Inilah awal dari rangkaian eksploitasi yang melanggar hak asasi manusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam posisi tersebut, mereka menjadi tidak berdaya dan tidak memiliki pilihan.

Bukan komoditas bisnis

PMI harus dilindungi oleh regulasi yang kuat. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan evaluasi berkala terhadap implementasi regulasi tersebut. 

PMI bukanlah komoditas bisnis untuk penempatan tenaga kerja di luar negeri, tetapi mereka adalah individu yang memiliki martabat dan merupakan citra dari Allah sendiri. Tidak masalah jika ada keinginan untuk pergi ke luar negeri untuk hidup lebih baik, asalkan melalui jalur yang resmi seperti Dinas Tenaga Kerja dan lembaga yang terverifikasi. 

Hal ini menjadi tugas pemerintah, terutama pemerintah daerah, untuk menyediakan lapangan kerja yang menghasilkan kesejahteraan, sehingga masyarakat tidak tergoda untuk mencari peluang ekonomi di luar negeri karena sudah terpenuhi di wilayah mereka. Pemerintah daerah dapat membuka sentra-sentra ekonomi di setiap kecamatan atau desa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. 

Selain itu, peningkatan partisipasi dalam pendidikan dan percepatan pendidikan vokasional bagi generasi muda Indonesia perlu dilakukan untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Upaya untuk mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja domestik menjadi kunci dalam memerangi praktik ilegal PMI. 

Jika harus bekerja di luar negeri, pemerintah daerah dapat mengatur persyaratan seperti hanya PMI dengan pendidikan minimal S1 atau setara, atau memiliki keahlian atau sertifikasi tertentu yang diakui. Dalam konteks etika dan budaya, hanya mereka yang mendapatkan restu keluarga (orang tua) dan pasangan (suami/istri) yang boleh diberangkatkan. 

Pemberangkatan pun dapat disertai oleh anggota keluarga, dilepas oleh gubernur atau bupati, dan diawasi hingga tiba di negara tujuan. Pendampingan yang berkelanjutan dan kewaspadaan harus menjadi prioritas. Peran kedutaan juga menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan menjamin keselamatan para PMI agar kejahatan kemanusiaan tidak terjadi lagi. 

Penerapan supremasi hukum dalam pengelolaan PMI harus menjadi prioritas di tingkat nasional hingga daerah, termasuk penerapan sanksi hukuman yang berat bagi pelaku yang nakal.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat