visitaaponce.com

Korupsi Elite dan Drama saling Sandera

Korupsi Elite dan Drama saling Sandera
Ilustrasi MI(MI/Seno)

TAHUN 2023 ini ialah tahun yang menyerempet bahaya (vivere pericoloso) bagi KPK. Publik menyaksikan betapa bangunan pemberantasan korupsi di bangsa ini seakan nyaris runtuh. Ini antara lain dipicu oleh skandal yang menjerat orang nomor satu KPK, Firli Bahuri.

Ia diduga bertemu dengan pihak berperkara dan melakukan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian SYL. Ia juga dikaitkan dengan dugaan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara Jaksel, senilai Rp 650 juta per tahun oleh Ketua Harian PBSI Alex Tirta yang diperuntukkan bagi kepentingan Firli.

Meski begitu Firli seakan ‘masih perkasa’ untuk dijerat lebih lanjut oleh hukum. Ia sudah tiga kali mangkir dalam panggilan pemeriksaan Polda Metro Jaya. Pertama, pada Jumat, 20 Oktober 2023 dengan dalih tidak bisa hadir karena ada kegiatan dinas dan perlu mengkaji materi pemeriksaan. Kemudian, Polda Metro menjadwalkan ulang panggilan pemeriksaan pada Selasa, 24 Oktober 2023. Firli memang memenuhi panggilan tapi meminta pemeriksaan dilakukan di Gedung Bareskrim Polri.

Kemudian, penyidik Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya kembali melayangkan panggilan pemeriksaan tambahan pada Selasa, 7 November 2023. Firli lagi-lagi mangkir dengan alasan mengikuti kegiatan Roadshow Bus Antikorupsi di Aceh. Padahal, kegiatan baru berlangsung 9-12 November 2023. Penyidik menjadwalkan ulang pemeriksaan Firli pada Selasa, 14 November 2023. Namun, ia kembali mangkir karena ada agenda klarifikasi di Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran etik. Padahal, Dewas sudah menunda pemeriksaan tersebut.

Purnawirawan Polri itu juga dua kali mengelak dari pemeriksaan Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran etik berupa pemerasan kepada SYL. Firli mestinya diperiksa Dewas pada Jumat, 27 Oktober 2023. Namun, ia menundanya dengan dalih sedang ada kegiatan di Aceh. Dewas KPK kemudian menjadwalkan kembali pemanggilan pada Senin, 13 November 2023, yang lagi-lagi dibatalkan Firli. Ia baru berhasil diperiksa oleh Dewas pada Senin 20 November 2023 kemarin selama tiga jam. Firli mengaku telah memberikan keterangan kepada Dewas KPK secara utuh dari awal sampai akhir.

 

Drama apalagi?

Yang bikin kita terkejut, sebelumnya pada 14 November 2023 lalu, Firli Bahuri mengatakan bahwa, tiga minggu lalu ia telah menandatangani surat perintah penangkapan dan pencarian terhadap HM (Harun Masiku). Padahal, kita semua tahu, HM yang telah menjadi buron KPK sejak 29 Januari 2020 lalu telah diburu polisi baik di dalam maupun di luar Indonesia, beserta kasak-kusuk yang menyertainya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan Harun sudah berada di Singapura pada 6 Januari 2020 ketika pihaknya melakukan OTT.

Kemudian Majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2020 sempat mengendus keberadaan politikus PDIP dan tersangka kasus suap PAW anggota DPR RI periode 2019-2024 itu, yang berada di Indonesia pada 7 Januari 2020. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mendesak oknum-oknum yang menutupi keberadaan Firli agar ditindak. Namun KPK bergeming. Saking gemasnya, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) membuat sayembara, bagi yang berhasil menemukan HM akan diberikan dua unit iPhone 11.

Anehnya, setelah hampir empat tahun berselang, Firli tiba-tiba ‘injak gas’ mau mencari HM. Drama apalagi ini? Apakah benar dugaan publik belakangan ini, bahwa mendadaknya KPK mencari HM, ada kaitanya dengan kasus dugaan pemerasan yang tengah menjeratnya, dan sedang ditangani Polda Metro Jaya. Dugaan ini bukan kaleng-kaleng, karena kasus yang menjerat Firli itu sudah naik status dari penyelidikan ke penyidikan. Polisi juga sudah menggeledah dua rumah Firli. Menurut Pukat UGM, dengan hal tersebut, unsur tersangka Firli sudah terpenuhi dan kuat untuk ditetapkan sebagai tersangka.

Namun kenyataannya, Firli tak kunjung ditersangkakan. Firli mestinya mengundurkan diri dari jabatannya untuk berkonsentrasi pada pemeriksaan kasus hukumnya. Apalagi KPK secara moral organisasi adalah institusi yang memang didesain dengan sensitivitas yang tinggi terhadap penyelahgunaan etik maupun korupsi.

Sedikit saja komisioner atau pimpinannya ‘tersentuh’ isu korupsi, hal itu akan langsung menciderai marwah institusi KPK. Karenanya, Presiden Jokowi sedari awal mestinya menempuh langkah tegas menon-aktifkan Ketua KPK tersebut, semata-mata untuk menjaga marwah dan kredibilitas pemerintah di hadapan publik.

Pengunduran diri seorang pejabat apalagi sekelas pemimpin pemberantasan korupsi yang terkena kasus, merupakan sumber dasar moral, bahwa seseorang memiliki kapasitas untuk menepati janji sebagai cerminan integritaspejabat publik (Patrick Dobel, 1999).

 

Persekutuan elite

Sayangnya, idealisme yang bercokol di benak dan akal sehat publik selama ini tidak berkorelasi dengan dinamika penegakan hukum kita yang memang sudah lama terjebak pragmatisme akut. Pragmatisme itu, setidaknya tergambar dalam nir-komitmen antikorupsi dan persekongkolan alias tukar-tambah kepentingan, yang menyelubungi perilaku aktor elite hukum dan politik kita.

Para elite itu, sejatinya tidak peduli dengan kepentingan penegakan hukum, apalagi jika hukum yang ditegakkan itu akan memberikan konsekuensi negatif bagi keselamatan kepentingan mereka. Prinsip demokrasi yang membuka ruang bagi pilihan politik publik dalam agenda elektoran seperti Pemilu, Pilpres, justru hanya dijadikan instrumen untuk melegitimasi proses para elite untuk mencapai kekuasaan.

Setelah merebut kekuasaan, standar demokrasi perlahan-lahan diganti dengan upaya membangun struktur kesempatan politik, sebagaimana dikonstatasi oleh Sidney Tarrow (1998) yang di antaranya membuka ruang bagi berlangsungnya persekutuan kepentingan-kepentingan politik-ekonomi di antaranya, elite-elite kaya dan berpengaruh.

Salah satu pola yang selama ini mereka jalankan tentu saja dengan mengisi ruang persekutuan itu, dengan sejumlah invasi kebijakan yang tendensius memperkuat dan memperluas basis kekuatan politik-modal mereka. Termasuk dengan menerabas hukum. Kasus-kasus hukum bahkan sengaja tidak ditindak, sebaliknya diakumulasi sebagai alat tawar-menawar di antara para elite sebagai bagian investasi karier politik.

Kita lihat sendiri misalnya, bagaimana produk-produk hukum kerap dipermainkan dalam suasana kebatinan para elite yang makin lupa daratan di tengah lautan kekuasaan. Praktik politik-hukum saling sandera kasus di antara elite yang mencuat belakangan ini merupakan reproduksi dari habitus korupsi yang sudah lama berkarat di parpol, baik lokal maupun nasional. Hingga kemudian melebar ke dalam jabatan-jabatan politik seperti legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang sarat dengan hasrat predatorik (Martin, McClean, Strom, 2023).

Mau sampai kapan hukum terus dipermainkan di republik ini, di saat kursi-kursi kekuasaan terus menghasilkan peradaban rongsok yang mengolok-olok nilai kejujuran. Sementara tak ada seorang pun yang mau mencegahnya. Negara ini butuh upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpinnya termasuk para elite hukum maupun Presiden. Sikap moral yang tegas dari pemimpin dibutuhkan, untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tak dibajak oleh para elite korup dan busuk.

Watak kepemimpinan yang tunduk nilai etika, moralitas keadilan, demokrasi dan kemanusiaan, adalah kebutuhan mendesak, agar negara ini bisa terus bernafas bagi keselamatan rakyatnya. Agar demokrasi yang memanjakan akal sehat di republik ini, hidup lagi.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat