visitaaponce.com

Pakar Hati-Hati Memaknai Dasar Yuridis Hukuman Mati Koruptor

Pakar: Hati-Hati Memaknai Dasar Yuridis Hukuman Mati Koruptor
Ilustrasi(Dok MI)

PAKAR hukum sekaligus akademisi Universitas Gadjah Mada  Djoko Sukisno menilai meskipun hukuman mati diizinkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, harus dicermati makna dari penjelasannya.

"Perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) UU tersebut yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut," ujarnya lewat keterangan resmi, Senin (6/12).

Makna dari keadaan tertentu, jelas Djoko, ialah sebagai pemberat hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi saat terjadi bencana alam nasional, pengulangan perbuatan atau ketika negara tengah keadaan resesi ekonomi. Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan’ diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya. 

"Kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya," tandasnya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah pelaku ada yang residivis dan melakukan tindak pidana yang sama. 

Lalu , sambung Djoko, dilihat dari tempus delicti apakah tengah bencana alam atau resesi ekonomi. "Tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya," pungkasnya.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kembali menggaungkan wacana hukuman mati bagi terpidana korupsi. Pihaknya, akan membuka ruang diskursus dalam mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam untuk dapat diterapkannya sanksi pidana terberat bagi para koruptor.

Dasar yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana mati untuk koruptor terdapat di Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang merumuskan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pengertian bencana alam nasional, berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Untuk dapat menjadi bencana alam nasional, maka harus ditetapkan statusnya oleh pemerintah pusat. “Ke depan perlu dilakukan reformasi norma, yang mana frasa bencana alam nasional cukup dirumuskan menjadi bencana nasional,” ujarnya. (Ant/OL-8)

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat