visitaaponce.com

Grasi Jokowi untuk Merri Utami, Langkah Penting Meski Terkesan Setengah Hati

Grasi Jokowi untuk Merri Utami, Langkah Penting Meski Terkesan Setengah Hati
unjuk rasa menolak hukuman mati terhadap Merry Utami di depan Dermaga Penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng.(Antara Foto/Idhad)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi terhadap terpidana mati kasus narkotika Merri Utami. Langkah Jokowi mengabulkan grasi pada Merri dianggap sebagai sebuah langkah penting dan kemajuan dalam hal pidana mati di Indonesia.

Merriy Utami adalah seorang korban perdagangan orang yang telah duduk dalam deret tunggu terpidana mati lebih dari 20 tahun sejak dijatuhi Pidana Mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Grasi ini telah diajukan sejak 2016. Merri Utami sudah berada di penjara selama 22 tahun. Sejak ia terjerat kasus narkotika ketika ia masih bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan pada awal 2000-an.

Kasus yang menjeratnya bermula saat ia bertemu dengan kekasihnya, Jerry yang merupakan warga negara Kanada, di Taiwan. Merri tidak mengetahui jika Jerry merupakan sindikat narkotika internasional.

Hingga akhirnya ia terkena jerat jebakan Jerry. Ketika Merri masuk Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Oktober 2001, ia diperiksa petugas. Petugas curiga setelah barang bawaan Merri melewati pemindaian x-ray. Petugas menemukan 1,1 kilogram heroin. Narkotika itu diselipkan di dinding tas pemberian Jerry. Merri ditangkap, sedangkan Jerry sudah menghilangkan jejak.

Baca juga: Vonis Mati Pemerkosa 13 Santri, Kemenag: Semoga Berikan Efek Jera

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Adhigama Budiman menilai keputusan tersebut menandakan ada langkah baru dalam memperbarui politik hukum pidana mati di Indonesia. Itu adalah hal yang dibutuhkan dalam hukum pidana di Indonesia saat ini.

"Sehingga semua terpidana mati berhak untuk mendapatkan pengubahan hukuman atau komutasi," ujar Adhigama Budiman dalam keterangan tertulis, Jumat, (!4/4).

Adhigama menjelaskan sering kali kasus narkotika justru menjerat orang-orang yang rentan, terutama korban perdagangan orang. Hal ini terjadi pada Merri Utami yang merupakan pekerja migran Indonesi (PMI).

"ICJR berharap hal yang sama akan diterapkan bagi terpidana mari lain, khususnya yang sudah lebih dari 10 tahun dalam masa tunggu terpidana mati," terangnya.

Baca juga: WN Arab Saudi Penyiram Air Keras ke Istri Terancam Pidana Mati

ICJR mencatat terdapat penyegeraan peniliaian terhadap terpidana mati kurang lebih sebanyak 101 orang. Mereka harus menunggu 10 di penjara agar memperoleh pengubahan subjek hukuman.

Presiden Jokowi mengeluarkan grasi untuk Merri pada pada Kamis, 24 Maret 2023. Keputusan Presiden Nomor 1/G/2023 ini mengubah pidana mati Merri Utami menjadi pidana seumur hidup.

Setengah Hati

Meski sebuah langkah yang positif, pengabulan grasi untuk Merri dinilai oleh LBH Masyarakat (LBHM) sebagai langkah setengah hati dari pemerintah dan presiden.

Pengadilan Negeri Tangerang memvonis mati Merri Utami pada Mei 2002. Merri sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi ditolak pada Januari 2003. Sejak 2016 LBHM mendampingi sebagai kuasa hukum Merri dan melakukan berbagai langkah untuk mendapatkan grasi bagi Merri.

Pada 27 Februari 2023, Presiden akhirnya memutuskan grasi Merri melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor: 1/G Tahun 2023 tentang Pemberian Grasi, dengan bunyi: “mengubah pidana dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup.”

LBHM pun berpandangan keppres tersebut harus diapresiasi karena pidana mati tidak sejalan dengan implementasi hak asasi manusia (HAM) secara nasional dan internasional.

“Lebih mendasar lagi, pidana mati yang dialami oleh Merri merupakan hukuman berlapis yang memunculkan praktik penyiksaan atas situasi deret tunggu kematian (death row phenomenon) akibat penghukuman yang berkepanjangan, sehingga kami meminta Presiden untuk menghentikannya,” bunyi keterangan resmi LBHM, Jumat, (14/4).

Namun, keppres tersebut juga disayangkan LBHM lantaran mereka menilai sikap presiden masih setengah hati dalam memberikan komutasi pidana mati terhadap Merri

“Keppres tersebut tidak mempertimbangkan durasi pemenjaraan Merri yang melebihi 22 tahun dan pernah menjalani rangkaian untuk pelaksanaan eksekusi mati di tahun 2016. Meski eksekusi mati tersebut ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan, Merri menghadapi beban psikologis dan mental yang bertubi-tubi.”

Selain itu, LBHM juga menyampaikan keprres tersebut dikeluarkan melebihi jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3 UU Grasi, yang menyatakan Presiden memberikan atau menolak grasi paling lama tiga bulan sejak diterimanya pertimbangan MA.

Sementara keppres dikeluarkan hampir enam tahun lebih. Durasi putusan grasi yang lewat dari ketentuan Pasal 11 ayat 3 UU Grasi adalah mendorong terjadinya fenomena death row phenomenon.

“Fenomena death row phenomenon yang dialami Merri seharusnya menjadi pertimbangan untuk membebaskan Merri dari pemenjaraan yang telah melebihi 22 tahun. Sehingga keppres tersebut berbunyi mengubah dari pidana mati menjadi pidana penjara waktu tertentu. Hal ini juga selaras dengan batas durasi maksimal pemenjaraan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 20 tahun.” tutup LBHM.

(MGN/Jek/Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat