visitaaponce.com

Pengamat Kritisi Fenomena Kader Parpol Pindah Partai Jelang Pemilu

Pengamat Kritisi Fenomena Kader Parpol Pindah Partai Jelang Pemilu
Bendera parpol peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta. Pengamat mengkritisi fenomena kader parpol pindah parpol menjelang pemilu.(Ant)

PENGAMAT politik dari Universitas Mathla’ul Anwar (Unma) Banten Ali Nurdin mengkritisi fenomena kader partai politik (parpol) yang tiba-tiba pindah parpol menjelang pemilihan umum (pemilu).

Menurut dia, kader yang memilih pindah karena akan mencalonkan diri melalui parpol lain menandakan lemahnya penegakan etika politik di Indonesia.

"Setiap kader parpol yang akan pindah seharusnya menuntaskan dulu semua urusan di partai lamanya sampai mendapatkan keputusan resmi, baru kemudian melamar ke partai politik lain," ujar dia melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/5).

Baca juga: Daftar Partai peserta Pemilu 2024 yang Lolos

Mantan Wakil Rektor III Unma itu menjelaskan pengunduran diri dari parpol lama tidak cukup hanya dengan surat pengunduran diri secara sepihak atau pribadi.

"Surat tersebut setidaknya harus mendapatkan persetujuan resmi dari pimpinan parpol yang bersangkutan," tutur lulusan doktor ilmu politik Unpad Bandung tersebut.

"Jika kader tersebut duduk dalam jabatan politik semisal DPR, DPRD atau kepala daerah, pengunduran dirinya baru tuntas setelah ada surat keputusan dari institusi yang berwenang," katanya.

Sesuai aturan berlaku, pengangkatan dan pemberhentian anggota DPR dan kepala daerah berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui SK Mendagri dan SK Gubernur.

Begitu pun partai politik yang akan menerima mantan anggota partai lain, jelas dia, seharusnya mempersyaratkan keputusan pemberhentian resmi dari partai politik yang lama.

Baca juga: Pemilu 2024 Jadi Penentu bagi NasDem

"Bahkan sebaiknya ada masa jeda, misalnya selama satu tahun, di mana mantan anggota partai politik yang satu tidak bisa serta merta pindah ke parpol lain seketika itu juga," jelas dia.

“Kalau dalam pernikahan secara Islam, istilahnya ada masa idah, di mana seorang janda tidak bisa serta merta menikah lagi sebelum melewati masa idah 100 hari,” katanya.

Tujuan masa jeda ini untuk memastikan bahwa kader atau pengurus parpol yang berniat pindah sudah menuntaskan semua urusannya di partai yang lama, baru kemudian dia memutuskan untuk berpindah parpol lain.

Ali juga menilai sangat tidak etis seorang kader parpol yang duduk di jabatan publik dan menyatakan pindah ke partai lain, sementara selama proses kepindahan tersebut ia masih menerima fasilitas publik semisal gaji dan tunjangan.

Dengan demikian, parpol hanya dianggap sebatas kendaraan untuk mengantarkan mereka ke jabatan politik.

“Kader kutu loncat itu orientasinya jelas hanya mengejar kekuasaan. Mereka tidak punya ikatan emosional apalagi ikatan ideologis dengan partainya,” pungkas Ali. (RO/S-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sidik Pramono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat