visitaaponce.com

Pakar Hukum Tata Negara Nilai MK tidak Berwenang Tetapkan Batas Usia Capres-Cawapres

Pakar Hukum Tata Negara Nilai MK tidak Berwenang Tetapkan Batas Usia Capres-Cawapres
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid(MI/HO)

MENJELANG sidang pembacaan putuan gugatan terkait usia minimum calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (16/10), Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid mengatakan dia masih berpandangan MK tidak berwenang memutuskan hal itu.

Pasalnya, persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakan kaidah "open legal policy" merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden. Pranata itu harus melalui  proses "legislation, wetgeving, sehingga dengan demikian, persoalan tersebut harus diletakan pada konteks "statutory rules" sehingga harus dikembalikan pada konteks itu. 

"MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara nomor : 29/PUU-XXI/2023, terkait uji materiil Undang-Undang Pemilu tentang batas usia capres-cawapres, jika mengacu pada ketentuan pasal 57 UU Nomor 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU RI 7/2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang, saya berpendapat ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut," ungkap Fahri.

Baca juga: MK Harusnya Tolak Uji Materi Syarat Usia Capres-Cawapres

Yang pertamanya, ujarnya, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan Permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima".

Kemungkinan berikutnya adalah dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon". 

Kemudian dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya

Baca juga: Usia Capres-Cawapres, Mahkamah Konstitusi Harus Sadar sedang Dipermainkan

Varian putusan selanjutnya adalah dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah mengabulkan permohonan Pemohon; dan yang terahir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), 

Jika mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara "a quo" selama ini, ungkap Fahri, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan, yaitu Pertama : MK dalam putusannya akan penurunan batas usia dari capres/cawapres dari batas usia 40 menjadi 35 tahun. 

Kemungkinan kedua adalah tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus yaitu pernah menjabat atau menjadi Kepala Daerah dengan segala konsekwensi konstitusionanya. 

Tentunya dengan melihat experience/pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk Mahkmah Konstitusi (MK) pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor 112/PUU-XX/2022, amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. 

Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu, segala kemungkinan itu dapat saja terjadi. 

"Jika itu yang terjadi  maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau "dissenting opinion" ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi," pungkasnya. (RO/Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat