visitaaponce.com

Parpol Pengaju Caleg Perempuan Kurang dari 30 Harus Didiskualifikasi

Parpol Pengaju Caleg Perempuan Kurang dari 30% Harus Didiskualifikasi
Ilustrasi(Antara)

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh membiarkan partai politik peserta Pemilu 2024 yang mengajukan calon anggota legislatif (caleg) perempuan kurang dari 30% dari total caleg di sebuah daerah pemilihan (dapil). Sanksi berupa diskualifikasi sebagai peserta pemilu pada dapil tersebut harus dijatuhkan.

Hal tersebut disampaikan pengajar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini. Ia mengingatkan pemenuhan kuota keterwakilan perempuan caleg adalah syarat partai politik dalam mengajukan caleg. Ketentuan itu bahkan diatur lewat Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

Beleid itu, sambung Titi, kembali dipertegas lewat Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU Nomor 10/2023 mengenai pencalonan anggota legislatif.

Baca juga: Polisi: Jemaah Masjid Harus Waspadai Berita Hoaks Jelang Pemilu

"Implikasinya jelas, kalau persyaratan tidak dipenuhi, maka pencalonan oleh partai politik tidak dapat diterima," ujar Titi kepada Media Indonesia, Rabu (8/11).

Titi meminta KPU memandang syarat kuota 30% perempuan caleg bagi partai politik sama dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni partai politik atau gabungan partai politik pengusung wajib memenuhi syarat kepemilikan 20% kursi DPR RI dan 25% suara sah pemilu DPR RI terakhir.

Baca juga: Pemilu Jadi Sarana Menghentikan Demokrasi tidak Benar dan Politik Dinasti

"Kan KPU pasti tidak akan menerima pendaftarannya kalau syarat itu (presidential threshold) tidak dipenuhi. Padahal UU Pemilu tidak mengatur sanksi atas ketentuan tersebut," kata Titi.

Menurutnya, praktik mendiskualifikasi partai politik sebagai peserta pemilu karena gagal memenuhi kuota minimal 30% perempuan caleg sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan 2019. Titi menyebut, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang menjadi bagian KPU sejak 2014 seharusnya paham mengenai hal itu.

Sebelumnya dalam daftar calon tetap (DCT) Pileg DPR RI 2024 yang telah diumumkan ke publik, Titi mendapati adanya partai politik di dapil Bengkulu yang keterwakilan perempuan calegnya di bawah 30%. Itu terjadi, misalnya, di dapil Bengkulu yang memperebutkan total 4 kursi. Pada dapil tersebut PKB, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai Ummat hanya menempatkan satu perempuan caleg.

Padahal, 30% dari total empat kursi di dapil tersebut adalah 2 kursi perempuan yang merupakan hasil pembulatan ke atas pecahan 1,2. Sebab, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan beleid penghitungan pecahan pembulatan ke bawah yang sebelumnya diatur oleh KPU.

Saat dikonfirmasi, Hasyim memastikan bahwa tidak ada sanksi yang diatur dalam UU Pemilu bagi partai politik yang kurang menempatkan perempuan caleg sebesar 30% di sebuah dapil. Pihaknya menyerahkan temuan kelompok masyarakat sipil soal partai politik yang kurang memenuhi kuota minimal 30% perempuan caleg ke masyarakat.

"Intinya di dalam Undang-Undang Pemilu tidak ada sanksi kalau ada partai politik yang mencalonkan calonnya itu, keterwakilan perempuannya kurang dari 30%," tandas Hasyim.

Titi menilai argumentasi Hasyim soal ketiadaan sanksi mempertegas bahwa KPU tidak memiliki komitmen dan itikad baik untuk menegakkan agenda demokrasi yang dijamin konstitusionalitasnya oleh Undang-Undang Dasar RI 1945.

"KPU saat ini yang notabene bagian institusi demokrasi justru malah melemahkan praktik demokrasi dan semangat pemilu inklusif itu sendiri," tandasnya. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat