visitaaponce.com

Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Tinggi jika Pejabat Negara tak Netral

Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Tinggi jika Pejabat Negara tak Netral
Presiden Joko Widodo(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A )

DUGAAN ketidaknetralan pejabat negara, termasuk presiden dan wakil presiden, dalam kontestasi Pemilu 2024 berpotensi meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Sebagai pejabat negara, presiden dan wakil presiden mestinya dapat menjadi teladan bagi pejabat di bawahnya untuk mengekspresikan hak politik individual.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengingatkan larangan bagi presiden dan wakil presiden untuk menunjukkan keberpihakan kepada peserta pemilu, baik sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Ketentuan itu telah diatur dalam Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

"Ketidaknetralan pejabat negara tentu akan sangat beresiko tinggi terhadap kondisi sosiologis masyarakat. Harusnya sebagai pejabat publik mampu memberikan kesan mengayomi untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pihak tertentu," katanya kepada Media Indonesia, Kamis (11/1).

Baca juga : Eks Hakim MK : Hak Angket Bisa Gali Ketidaknetralan Jokowi di Pemilu 2024

Bagi Mita, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara berpotensi sangat tinggi jika mereka tidak dapat bersikap netral. Dampaknya, rakyat juga yang dirugikan. Menurutnya, pejabat negara seharusnya mampu mewarisi hal-hal baik sebagai negarawan di akhir masa jabatan.

Ia berpendapat, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memposisikan demokrasi sebagai jaminan khalayak yang mampu membawa aspek kesejahteraan bagi bangsa.

Terpisah, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menyayangkan komentar Presiden Joko Widodo yang berkomentar soal format dan substansi debat calon presiden (capres) pada Minggu (7/1). Diketahui, Jokowi menilai gelaran debat capres terakhir seputar pertahanan dan hubungan internasional minim substansi dan sarat dengan serangan personal.

Baca juga : Laporkan Kecurangan ke MK dan Bawaslu Dinilai Percuma

Komentar Jokowi itu dinilai senada dengan narasi dari para pendukung capres nomor urut 2 Prabowo Subianto. Mestinya, Lili melanjutkan, Presiden tidak perlu memberikan komentar seperti itu. Menurutnya, Jokowi harus berdiri di atas semua pasangan capres-cawapres.

"Dengan adanya komentar seperti itu, terlihat Presiden sudah tidak netral lagi," kata Lili.

Di sisi lain, Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang hadir dalam perayaan HUT PDI Perjuangan kedapatan mengacungkan salam metal tiga jari. Bagi Lili, kehadiran dan salam metal tiga jari yang ditunjukkan Ma'ruf tidak dapat dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2024. Ia justru menyoroti ketidakhadiran Jokowi dalam acara tersebut yang digelar Rabu (10/1).

Baca juga : Datangi Tempat Berkumpul Prabowo-Gibran,Kenegarawanan Jokowi Dipertanyakan

Menurut pakar ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati, fenomena ketidaknetralan dari presiden baru terjadi dalam kontestasi Pemilu 2024. Apalagi, putra sulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka, juga tercatat sebagai peserta pemilu. Gibran menjadi cawapres nomor urut 2 mendampingi Prabowo.

Mada menjelaskan, meski sebagai pejabat publik, seorang presiden juga memiliki preferensi politik tersendiri. Apalagi, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur soal preferensi politik seorang presiden. Namun, ia juga mengingatkan adanya batasan bagi presiden maupun wakil presiden untuk tidak menggunakan fasilitas maupun aparatur negara dalam menunjukkan preferensi politik individual.

"Menurut saya sekarang ini masyarakat sudah harus bisa membedakan dan memilah mana Jokowi sebagai Presiden dan mana Jokowi sebagai warga negara biasa yang memiliki hak politik yang sama," terang Mada. (Tri/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat