visitaaponce.com

Sajak-sajak Muhammad Ade Putra

Sajak-sajak Muhammad Ade Putra 
(MI/Tiyok)

Ilustrasi: MI/Tiyok 

Kopi Osing 

Ijen telah menusuk langit!
Rumah Osing yang akbar.
Turis-turis turun datang.
Kemiren bercahaya.
 
Orang-orang yang kesepian. 
Kamu berbaring tenang dengan lambung bergetar.
Aku nikmati kepulan asap dari cangkir kopi memenuhi langit.
Banyuwangi masih diserang dingin.
 
Januari, 2022 

 

Kami Tidak Menjual Leluhur, Tuan 

Selamat datang, Tuan. 
Desember masih kedinginan di bawah tangga rumah. 
Silakan masuk! Jangan buka sepatumu, 
biarkan kami menghidu bau lelah dari kakimu 
yang tidak henti-hentinya mengutuk dan menyumpah. 

Bapak telah berangkat ke kebun kopi. 
Tempat ia kembali beranak dan beristri. 
Berhari-hari ia pergi tanpa menyisai uang di selip-selip dinding. 
Tapi tetap akan kami hidangkan secangkir kopi hangat tanpa gula: 
menghitam pekat gigimu. 

Selamat datang, Tuan. 
Ibu sebentar lagi pulang, akan ia bawa nyanyian tipis para petani. 
Mengenang sejarah yang ingin kau dengar. 

“Sampai kapanpun, kami akan berteman tanah.
Marwah dan petuah. 
Tidak dijual!” 

Berikutnya, Tuan bisa pulang dan jangan kembali. 

Januari, 2022 

 

Anak-Anak Aia Kawa

Mak, kenapa kita menenggak daun 
Meranggas dan diperas hidup. 
Sedang kopi masih berbuah di kebun Apak.

Januari, 2022 

 

Biji kopi itu jatuh dari saku perjalanan Tuhan menuju surga. 

 

Kopi Gayo: Saudara Sedarah Petani 


Anak itu lahir dari biji kopi 
Bagaimana ia tidak berkulit dingin 
dan menghembuskan kabut pahit. 
Ia anak Gayo. 1200-1700 di atas telapak Samudera Hindia. 
Berayah pada puluhan petani. Bersanding cita lidah khas. 

Biji kopi itu jatuh dari saku perjalanan Tuhan menuju surga.
Jatuh ke tangan pribumi yang semalaman bermimpi
meraup rezeki dengan menggali kembali tanah titipan akar sejarah sendiri. 

Ia tumbuh dan berbunga. 
Merah serta molek: seperti seorang gadis. 

Orang-orang dari lautan seberang
Datang bersama haus di tenggorokan.
Cerita tentang anak itu telah mengetuk pintu-pintu kedai di mana saja.
Oh Gayo, tempat kopi lahir dan dipinang orang.
 
Di sini, telah dibabat habis semak belukar.
Kopi tumbuh melulu berbuah.
Petani menjemurnya hingga matang
Menyeruak wangi ke segala arah
Menyudahi lapar anak istri.
Ia diantar ke kota-kota jauh.
Ke tanah-tanah lain.
Meninggalkan rumah.
 
Bagaimana ia tidak berkulit legam dan beraroma rempah,
sedang ia lahir dari ketinggian Gayo.

II 
Telah sampai kami pada leher bukit.
Delapan teguk kopi hitam terjun bebas di kedalaman perut. 
Kabut tipis mendirikan tenda putih di pucuk rambut. 
Langit malu-malu. Jaket tebal yang sehari lalu ditempa mata-mata hari,
kini telah menghujani setapak. Keringat hilang rasa. 

Kami pulang menjengukmu, saudara. 
Warisan nenek moyang yang mengerti bahasa hati. 
Datang bersama sekarung sisa sayur di dapur dan tahi kerbau. 
Menyuburkan tulang belikat yang kokoh
Terus duduk bersila di miring tebing. 

“Kau kian purna 
Berkain panjang dan memakai wangi-wangian
Angin selatan meminangmu.
Mendampingi air mata bumi.
Disaksikan tanah dan sengat matahari.” 

Semakin tinggi.
Lenganmu menjalar ke mana-mana
Mata merah menyala. 

Telah sampai kami pada leher bukit.
Lagi-lagi dengan salam
Berikut lelah dan sakit pinggang.
Berhari-hari. Kerja dengan peluh berwarna gelap.
Sepenuh niat membayar utang
Sekolah anak dan tabungan kaleng tua. 

Seringkali hargamu jatuh dipasarkan 
Mencekik leher kami. Dada menyesak.
Hingga dapur di rumah tidak kunjung berasap.
Tapi kami tetap memilih jadi petani.

III 
Hidup petani dan biji kopi adalah catatan silam
Yang tersadai dari rentetan kisah seorang penjelajah. 
Menemukan surga setengah mata: 
Setelah penjajah hengkang. 
Inilah Gayo 
Tempat kopi lahir dari janji hutan 
Yang mengikat sumpah: selalu subur dan terjaga. 

Namun, akhir-akhir ini
Bisik tajam dari gergaji mesin mulai mendekat ke tepi telinga.
Hutan mulai hilang akal. 

Kabut asap mengepung paru-paru orang kampung.
Sesak! Dada bidang pohon-pohon terbakar. 
Sebentar lagi merebah ke rumah kopi. 

IV
Ah, bagaimana kami dapat dan mengering. 
Kami kopi Gayo. 
Bau muasal tak lagi menusuk hidung
Hari-hari penuh kantuk.
Bila begini, masihkah kami sedarah petani? 

Januari, 2022 

 

Gajah Sumatra yang Menikmati Kopi di Hadapan Krakatau 

1. Gajah Sumatra 
Kami besar, jauh di ujung selatan Sumatra.
Dengan dingin dan kubangan.
Hanya butuh ampat jam untuk tidur. 
Kami akan melanglang buana selama malam hari,
dan kala para mahout tengah terlelap di posko.
 
60 kawasan akan mengirimkan pesan 
tentang kedatangan badai kepada kebun dan ladang. 
Kami akan mendengar bisik angin malam 
yang perkasa, turun dari kaki bukit di utara.

Acapkali auman Harimau Sumatra terdengar, 
anak-anak kami ketakutan. 
Tapi, kamilah petualangan yang gentar pulang 
sebelum matahari terbit di pulau seberang. 
 
2.  Kopi Lampung 
Sebagai petani yang selalu lupa untuk makan siang,
kebun kopi sudah harus digarap:
Batang-batang telah kekar.
Bunga-bunganya mekar. Sedang hari telah tinggi.

Aroma kopi panas telah menggoda
dari gubuk di seberang kebun. 
Ah! 

3. Krakatau 
Di tulang belakang Sumatra
Kaki selat Sunda yang akbar.
Senja karam di perutku yang meletus!
 
Januari, 2022  

 

 

Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi
Baca juga: Sajak-sajak Maharani Ningrum 
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia 

 

 

 


Muhammad Ade Putra, menulis puisi dan prosa, asal Kampar, Riau. Ia adalah peraih juara ke-1 Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, tercatat sebagai mahasiswa Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (SK-1) 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat