visitaaponce.com

Puisi-puisi Joni Hendri

Puisi-puisi Joni Hendri
(Ilustrasi: Leonid Shatsylo)

Rotasi Tahun

Kita mengubur mimpi, di tepian ladang padi. Menunggu ia terjaga, pada tahun berikutnya. Roda kenderaan terus menggilas lahan yang ditargetkan. Sambil menimbun rumah yang terbengkalai. Mulai menebas rerumputan yang menyerupai hutan.

Sebagai ucapan salam sebelum pembangunan. Menulis pada kertas putih, lambang perjanjian. Tak ada dada yang melepuh, setelah kata “wujud” menjelma. Tak ada yang menghempas diri, saat ia telah jadi.

Tempat tinggal akan jadi perbandingan, dari setiap renjisan detik. Bukan sekadar bisik mimpi, melainkan pembalut hati. Doa disertakan, seolah-olah tak ingin sama seperti rotasi sebelumnya. Semangat yang terbakar, mengikuti setiap musim. Menjelang tahun berputar di urat-urat kepala.

Setiap ucapan yang lahir, terus menghempas rimbun kata-kata. Menunggu perubahan, tak jadi murka. Dan mengisahkan hal yang sama. Berkabar padamu, sebaris catatan api yang menyala dalam diri. Seluruh tatapan mata, menghanguskan keraguan yang bertapa.

Kecemasan yang ditemui, kabar pun sampai. Memutar hati serasa digergaji. Padahal di celah peta masih ada tanda. Terlihat basah sebagai tempat membaca. Lalu di wajah bimbang dan hangus dibakar keraguan. Mulai pulih, terlihat bersih. Serupa tembang menunggu dipegang.

Kata-kata yang diungkapkan, tergenggam hingga dipahat palu. Mengalirkan sungai impian pada sela-sela tahun. Sesuatu yang sangat berharga, hampir mengelupas. Nyaris menyeramkan pada rotasi tahun sebelumnya.

Rimbo Panjang, 2023


Persaingan

78 tahun kita dilipat mimpi 
dalam pangkuan janji-janji kasih
setelah bercinta di atas kursi
sebagai kelengkapan yang ingin diperjalanankan. 

Anak-anak hanya kelelahan berlari 
memakai sarung waktu 
penetapan yang diembankan
kini mereka sudah menemukan tujuan
terbangun dan memetik mimpi
lalu bersaing ke semua negeri. 

Menggulung kenangan 
dalam susunan peristiwa 
kita hanya lemas sementara
tenggelam dalam dada kenangan.

Dalam kepala ada yang berlarian 
melewati akal-akal yang nakal 
mencemaskan hati, 
penuh dengan keinginan yang miris. 

Tapi hadangan perih dan luka 
sebentar lagi akan sampai pada kota-kota
membawa alat-alat berat 
yang bermalas-malasan bertugas
ia telah dipahat sampai tamat
pada setiap helat waktu.

Persaingan telah ditulis pada hamparan. 
Terlihat pada dinding mata. 
Menyerupai katarak, 
menutup-nutup perdaban. 

“Bukan itu, yang dimaksudkan!” Katamu. 
Melainkan dugaan 
yang terus mengisak saban petang. 
Saat bulan mengabang 
di atap rumah mambang.

Rimbo Panjang, 2023


Travel yang Mengejar Angka 2045

Ia ketinggalan travel, pada jam dua belas siang. Tapi aku menemukannya saat aku dikejar hantu. Berlari ke arah lampion yang menikam mata. Segalanya jadi luka. Tak sempat membawa bekal, terus mengejar angka 2045.

“Apakah ia malang?”

Hampir tak bisa menaklukkan sunyi, di angka-angka yang tertinggal. Travel mendatangkan malang, saat ia sedang riang. Roda-roda itu seperti membawa emas. Laju berputar, mengejar dan menjalar. Ia kejar dengan darah gemuruh dalam tubuh. 

“Ia dan aku orang-orang malang?”

Aku juga tetap berlari, saat matahari baru mengintai dari cela paha. Lalu bernaung di bawah bendera Indonesia. Sebelum ditebas penjajah dan kehilangan tanda.

Di sekeliling, bayi-bayi yang dicadang. Diwacanakan sebagai generasi periang. Menjauhi malang dari kutukan pembangkang. Berdamai di bawah pohon cermai, yang hampir tumbang.

“Ia terus mengejar travel! Aku mengejar kata-kata! Bayi-bayi mengejar usia!”

Tapi, ia menghimpun pada jalan yang ditargetkan. Sebab angka 2045 menyimpan taring. Sebagai ketajaman bangsa yang nyaring. Menghapus purba yang bersarang di setiap kepala. Menutup masa lalu dengan penuh tanda tanya.

Bayi-bayi yang tak pernah curang, terus merebut usia. Menggetarkan tiang bendera, dari peluru penjajah yang tak punya saudara. Aku terus menyonsong, membawa jimat. Menangkal angka yang sudah tamat. Mebersihkan debu-debu penjajahan. Di kepala yang terikat.

Rimbo Panjang, 2023


Kita mengubur mimpi di tepian ladang padi. Menunggu ia terjaga pada tahun berikutnya.


Hajat

Jika ia tajam maka jadilah!
Yang memanjang rupanya perjalanan masa
setiap persegi yang tertanam dengan ragu 
jangan rusing dengan tajam-tajam pandangan
sebelum rumput dihimpit gedung. 

Tiada darah pada mata kita 
sekian lama berdiam di tangan purba 
kupahami halus dari sisi pangkal waktu
sebagai sapaan kawan.

Jantung yang sedang ditimang-timang
bersilang-pagut sehabis menang-perang 
ini bukanlah belah mencari retak
tapi serpihan sejarah yang mendayung tahun
setelah gelombang-gelombang hari menggunung.

Berani menjadi jantan menuju tujuan 
memahat jejak pada dinding hidup 
matanya adalah alamat tak bertingkap
menyusun puing-puing hajat yang masih tersimpan.

Tersadai pada goa-goa, maka berumahlah pada buih
membuat jejak pada daun-daun
memeluk belukar waktu dalam tanda-tanda baru: “2045!

Pekanbaru, 2023


Menuju Alamat 5.0

Sejarah sedang mengandung, pada jaringan-jaringan peradaban. Mengejar cerdas pada tingkap yang tertutup zaman. Abadi untuk bersenang-senang. 

Tipologi samar-samar pada kaki, ia menuju alamat 5.0 sambil berlari. Gang-gang teknologi memberi jalan panjang. Membuka peta, merapal kata-kata yang menggerutu. 

Di panggung, ada puing-puing waktu, tempat Jan van Dijk mengirup masa lalu. Ia merancang, di luar pemikiran. Memompa kata-kata yang terlihat dari arah belakang.

Sebuah revolusi berdebat di atap rumahnya, hilir-mudik mencari aliran listrik. Bekas Klaus Scwab menguapkan mesin, tempat menegcas puisi yang lemah.

Produksi cermin, seperti: Technological determinism kaku. Terbang ke Jerman, kita meneliti fisik yang galau dan lelah. Dikejar media dari belakang.

Pekanbaru, 2023


Baca juga: Puisi-puisi Anton Sulistyo
Baca juga: Puisi-puisi Yana Risdiana
Baca juga: Puisi-pusi Deriska Salsabila

 

 

 


JONI HENDRI, pemuisi dan pengajar, kelahiran Teluk Dalam, Pelalawan, Riau, 12 Agustus 1993. Alumnus Program Studi Seni Teater di Akademi Kesenian Melayu Riau dan Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning. Karya-karyanya berupa esai, naskah drama, cerpen, dan puisi sudah dipublikasikan di sejumlah media cetak, daring, dan antologi. Aktif bergiat di Rumah Kreatif Suku Seni Riau dan berorganisasi di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru. Puisi-puisi di sini diterima redaksi dalam rangka mengikuti Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023. Kini mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat