visitaaponce.com

Perjuangan Masyarakat Adat di Jepang Merebut Kembali Identitas

Perjuangan Masyarakat Adat di Jepang Merebut Kembali Identitas
Atsushi Monbetsu, warga dari Suku Ainu, berdoa sebelum mulai berburu(Yuichi YAMAZAKI / AFP)

Di sebuah hutan di Hokkaido, Jepang utara, Atsushi Monbetsu berlutut di atas rumput di tengah tebalnya kabut pagi.  Lalu, ia mulai berdoa dalam bahasa yang hampir punah. "Kamuy," begitu dia mulai berbicara kepada sang dewa, sembari menyalakan api dari kulit kayu.  Suku Ainu, salah satu masyarakat adat di Jepang, percaya kepada para dewa sehingga mereka mesti meminta izin sebelum melakukan berbagai aktivitas.

"Seorang pria Ainu sekarang telah memasuki hutan Anda dan ingin berburu rusa," kata Mombetsu, seperti dikutip AFP, Jumat (17/2) Sejurus kemudian, dia melihat seekor binatang lalu membunuhya dan berdoa untuk jiwanya.

Monbetsu termasuk salah satu dari  masyarakat adat Ainu, yang bermukim di tempat yang sekarang disebut Jepang utara, serta di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Rusia.

Saat tumbuh dewasa, stigma asal etniknya begitu besar sehingga ibunya melarangnya menggunakan kata "Ainu". Namun, seperti semakin banyak orang muda dari komunitas pribumi di Jepang, Monbetsu, 40, telah mendapatkan kembali identitasnya dan beberapa praktik tradisional yang dia anggap sebagai haknya, ia lakukan.

Selama berabad-abad, Suku Ainu berdagang dengan orang Jepang dari daratan, yang mereka kenal sebagai Wajin. Namun, pada tahun 1869, pemerintah Kekaisaran Jepang mencaplok  wilayah mereka dan melarang praktik "barbar" seperti tato wajah untuk wanita komunitas tersebut.

Suku Ainu terpaksa meninggalkan praktik berburu tradisional. Mereka pun terpaksa berbicara dengan bahasa Jepang dan menggunakan nama Jepang. Pemerintah secara hukum tidak mengakui mereka sebagai penduduk asli hingga tahun 2019. Kebijakan asimilasi secara paksa juga telah meninggalkan luka yang dalam bagi penduduk asli tersebut.

"Kadang-kadang saya masih membenci penampilan saya," kata Monbetsu, yang berjanggut lebat. Penampilan seperti ini secara tradisional sangat disukai oleh kaum pria Ainu.

Terlepas dari ketakutan ibunya, ayah Monbetsu membawanya ke pertemuan adat di mana dia bisa belajar tarian dan adat istiadat lainnya.

Sebagai orang dewasa, dia menganut tradisi seperti berburu dan berdoa kepada Dewa Kamuy yang diyakini menempati segalanya, dari pohon hingga peralatan.

"Ketika Anda hidup hanya dengan apa yang Anda buru di alam, Anda menjadi rendah hati, Anda merasa hidup berkat Dewa Kamuy," kata Monbetsu.

 

 

Seperti halnya Monbetsu, Tomoya Okamoto juga menyembunyikan identiitas pribuminya saat masih anak-anak, karena takut diejek. “Saya tidak akan memberi tahu teman-teman saya karena tidak ada hal baik yang akan terjadi," kata pria berusia 25 tahun itu.

Namun, seiring waktu, perasaannya berubah, sebagian didorong oleh serial manga populer "Golden Kamuy", yang menyoroti budaya Suku Ainu.

Dia melihat tradisi masyarakatnya yang ramah terhadap alam dan hidup selaras dengan lingkungan, membuatnya senang menjadi bagian dari komunitas ini. "Saya dapat menjadikan pekerjaan saya untuk melindungi budaya Ainu," kata pria yang kini berprofesi sebagai pematung itu kepada AFP

Suku Ryukyu

Menurut survei terakhir tentang Suku Ainu di Hokkaido pada tahun 2017, jumlah populasi mereka sekitar 13 ribu jiwa. Namun, dengan adanya perkawinan campuran dan keengganan beberapa orang untuk mengungkapkan identitas asli mereka, angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.

Tidak hanya Ainu, di Jepang ada masyarakat adat lainnya yang disebut Ryukyu. Namun, untuk menghitung jumlah populasi mereka jauh lebih sulit lagi karena pemerintah pusat tidak mengakui mereka. Sebagian besar dari 1,5 juta penduduk pulau Okinawa selatan Jepang diyakini memiliki  darah Ryukyu.

Kerajaan Ryukyu, yang kekuasaannya meliputi pulau dari wilayah Amami Jepang selatan hingga pulau Yaeyama dekat Taiwan,  secara resmi dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1879 dan memaksa mereka  berasimilasi.

"Pemerintah Jepang memiliki kebijakan untuk mengajari mereka bahasa Jepang, menuntut kesetiaan kepada bangsa dan akhirnya merekrut mereka untuk perang agar menjadi anggota penuh bangsa ini ," kata Eiji Oguma, seorang profesor di Universitas Keio kepada AFP.

Masyarakat Ainu sekarang jarang berbicara dengan lancar bahasa asli mereka, tetapi beberapa orang tua di komunitas Ryukyu masih berbicara bahasa lokal di wilayah itu dan mewariskannya kepada generasi muda.

Namun, bahasa tersebut tidak diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, beberapa orang keturunan Ryukyu, seperti artis hip-hop dari Okinawa, Ritto Maehara, berusaha memperjuangkannya.

"Bahasa, yang biasa kami ucapkan dan hargai kerap menjadi sasaran hukuman," kata pria berusia 38 tahun itu kepada AFP. "Itu benar-benar membuatku sedih, karena aku tidak bisa berbicara dan mengerti sebanyak yang aku mau."

Musik rap yang dibawakan Maehara yang menggambarkan realitas kehidupan di wilayah termiskin di Jepang, juga sering diselipi kata-kata dari bahasa Ryukyu, seperti "Yakkey-yo!", yang artinya kira-kira "Apa-apaan ini!".

Maehara tidak sendirian. Kini semakin banyak buku teks dan tutorial YouTube yang ditujukan bagi mereka yang ingin meningkatkan kefasihan mereka dalam menggunakan bahasa asli daerah.

Perang Dunia II

Identitas masyarakat Ryukyu ditandai dengan sejarah berdarah akibat kehadiran pasukan AS di Pulau Okinawa sewaktu Perang Dunia II. Seperempat penduduk wilayah itu tewas dalam Pertempuran Okinawa (1945) yang terkenal itu, termasuk beberapa di antaranya yang berjuang atas nama Kaisar Jepang. Namun, ada sebagian lainnya yang terpaksa bunuh diri untuk menghindari ditawan oleh pasukan AS.

Tetapi, pendudukan militer AS pascaperang di wilayah itu, mengubah sentimen masyarakat setempat sehingga  beberapa orang di antaranya ingin kembali di bawah kendali Jepang. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat