visitaaponce.com

Korea Selatan Alami Krisis Demografi, Banyak Warga Ogah Menikah dan Punya Anak

Korea Selatan Alami Krisis Demografi, Banyak Warga Ogah Menikah dan Punya Anak
Penduduk muda di Korea Selatan(ANTHONY WALLACE / AFP)

Saat Indonesia sedang berada dalam fase menuju pertumbuhan bonus demografi, lain halnya dengan Korea Selatan yang saat ini sedang mengalami contoh ekstrem dan cepat dari fenomena yang disebut para pakar sebagai transisi demografis. Penurunan populasi ini umumnya kerap terjadi ketika negara-negara semakin maju.

Adanya perspektif kaum muda Korea Selatan yang semakin anti dengan pernikahan dan menghindar untuk menjadi orang tua terlihat semakin tinggi. Tingkat kelahiran juga menurun tajam sehingga tidak cukup menggantikan generasi yang tua menjadi satu hal yang menjadi masalah untuk masa depan Korea Selatan.

Krisis demografi ini diperkuat dengan laporan terbaru dari pemerintah yang menggarisbawahi bahwa trend tidak menikah dan ogah punya anak secara drastis telah meningkat selama satu dekade terakhir.

Laporan yang ditulis lewat metode survei dengan melibatkan penduduk berusia antara 19 dan 34 tahun setiap dua tahun sekali itu dirilis oleh Badan Statistik Korea seperti dilansir dari CNN pada Rabu (30/8).

Pada tahun 2012, peneliti menemukan ada sekitar 56,5% warga Korea Selatan yang memiliki pandangan setuju dengan pernikahan. Namun, angka tersebut menurun menjadi 36,4% pada tahun 2022. Hasil tersebut menunjukan bahwa pernikahan semakin tidak diminati dan dihindari oleh warga Korea Selatan.

Penurunan ini juga mencerminkan adanya tekanan hidup yang semakin meningkat pada kaum muda Korea Selatan, termasuk masalah ekonomi seperti perumahan yang tidak terjangkau dan meningkatnya biaya hidup sehari-hari.

Laporan tersebut mencatat beberapa alasan umum yang dikatakan kaum muda mengapa mereka tidak menikah, di antaranya yaitu tidak memiliki cukup uang untuk menikah dan merasa bahwa pernikahan itu tidak perlu.

Sementara itu, di antara sepertiga responden yang memiliki persepsi positif tentang pernikahan, lebih banyak didominasi oleh kaum pria. Sedangkan hanya ada 28% wanita yang memberikan tanggapan positif dan setuju terkait pernikahan.

Beberapa wanita Korea Selatan mengatakan kepada CNN pada tahun 2019 bahwa mereka kerap menghadapi kendala keamanan saat masa kencan atau pacaran. Hal itu kemudian diperparah oleh berita-berita tentang kejahatan seks, voyeurisme, dan diskriminasi gender sehingga membuat perempuan trauma untuk menikah.

Kemajuan perempuan dalam pendidikan dan karir juga berarti menjadi faktor meningkatnya ketidaksetujuan mereka terhadap pernikahan. Ada pula persepsi bahwa biaya untuk menikah jauh lebih tinggi bagi perempuan saat ini dibandingkan generasi sebelumnya.

“Dengan menikah, para perempuan mungkin harus berkompromi dengan karir atau pendidikan, terutama karena adanya norma-norma gender yang sudah mengakar dan kesulitan untuk kembali bekerja setelah melahirkan,” demikian menurut laporan yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Berbagai kendala dan alasan tersebut menyebabkan banyak wanita berpendidikan dengan pekerjaan tetap akhirnya menunda pernikahan dan menjadi orang tua. Bahkan ada istilah “bihon” yang berkembang di Korea Selatan untuk menyebut pada wanita yang memilih untuk tidak menikah.

Laporan dari Badan Statistik Korea Selatan mencatat bahwa sikap para responden wanita terhadap persalinan juga menjadi salah satu faktor turunnya demografi negara Ginseng tersebut.

Hasil penelitian tersebut mengatakan lebih dari setengah wanita Korea tidak merasa perlu untuk memiliki anak, bahkan setelah menikah. Angka ini terus meningkat sejak tahun 2018 hingga tahun lalu.

Kendati demikian, dalam sebuah pergeseran dari pandangan konservatif Korea Selatan yang biasanya terkait kehamilan di luar pernikahan dan gagasan tentang pengasuhan anak tunggal semakin populer.
 
Hampir 40% responden mengatakan bahwa mereka memutuskan memiliki anak tanpa menikah, ini menjadi sebuah perubahan dari norma-norma tradisional di Korea.
“Meskipun memiliki bayi sangat diharapkan dari pasangan yang sudah menikah di Korea Selatan, sebagian besar masyarakat masih memandang rendah orang tua tunggal yang tidak menikah,” jelas laporan tersebut.

Sementara itu, pasangan yang menjalin hubungan sesama jenis masih menjadi pro da kontra. Akan tetapi, Korea Selatan tidak mengakui pernikahan sesama jenis dan peraturan yang menyulitkan pasangan LGBT yang belum menikah untuk mengadopsi anak.

Tahun lalu, tingkat kesuburan Korea Selatan dilaporkan menjadi yang paling rendah di dunia dengan tingkat kesuburan atau jumlah rata-rata anak yang diharapkan per wanita, turun menjadi 0,78 pada tahun 2022, dari 0,81 yang dicatatkan pada tahun sebelumnya.

Bahkan angka ini tidak sampai setengah dari 2,1 yang dibutuhkan untuk populasi yang stabil. Angka tersebut juga jauh di bawah Jepang (1,3), yang saat ini merupakan negara dengan tingkat populasi paling abu-abu di dunia.

Upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini sejauh juga terbukti tidak efektif. Pemerintah telah menghabiskan lebih dari $200 miliar selama 16 tahun terakhir untuk mendorong lebih banyak orang agar memiliki anak, namun hasilnya tidak banyak berhasil.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat