visitaaponce.com

Perekonomian Makmur Jerman bakal Ucapkan Selamat Tinggal

Perekonomian Makmur Jerman bakal Ucapkan Selamat Tinggal?
Karyawan mengerjakan pompa pemanas di lini produksi perusahaan teknologi pemanas Jerman Viessmann di Allendorf, Jerman barat.(AFP/Yann Schreiber.)

DALAM banyak kunjungannya ke pabrik semikonduktor dan pabrik mobil listrik, Kanselir Jerman Olaf Scholz menggebrak perekonomian di garis depan transformasi industri. Namun gambaran yang dilukiskan oleh para pemimpin bisnis dan pakar kurang cerah karena meramalkan masa-masa sulit yang akan datang bagi ekonomi terbesar Eropa itu.

Setelah jatuh ke dalam resesi pada awal tahun, Jerman tampaknya akan menyelesaikan tahun ini dengan posisi merah dan berada di urutan paling belakang di antara para pesaing zona euro. Pemerintahnya menjadi satu-satunya yang masih memprediksi PDB akan tumbuh tahun ini, sementara lembaga ekonomi utama dan IMF memperkirakan penurunan 0,2% hingga 0,4%.

Inflasi yang melonjak, penaikan suku bunga yang menyakitkan, pemulihan lamban di pasar ekspor utamanya Tiongkok, dan biaya energi yang tinggi membebani aktivitas. Malaise mungkin lebih dari sementara, beberapa analis memperingatkan. 

Baca juga: Perekonomian Spanyol kembali ke Tingkat sebelum Pandemi

"Saat ini kami melihat negara ini menghadapi segunung tantangan," kata Siegfried Russwurm, kepala lobi industri BDI yang berpengaruh. Semakin banyak bisnis, termasuk perusahaan kecil dan menengah, berupaya, "Memindahkan sebagian aktivitas mereka keluar dari Jerman," kata Russwurm pada konferensi tahunan asosiasi industri Jerman, BDI.

Di surat kabar, momok Jerman sebagai 'orang sakit Eropa' kembali muncul. Ini mengingatkan kembali pada periode sebelum 2000 ketika negara tersebut berjuang untuk bersaing di pasar internasional dan menghadapi tingkat pengangguran tinggi.

Era baru 

Scholz, yang menjadi kanselir pada akhir 2021, lebih memilih untuk menunjuk ke era ekonomi yang berbeda. Dalam wawancara dengan media Jerman pada Maret, dia mengatakan dorongan untuk mencapai netralitas iklim pada 2045 akan mengembalikan tingkat pertumbuhan seperti pada 1950-an dan 1960-an, zaman keajaiban ekonomi Jerman Barat pascaperang.

Baca juga: Seperti Anjing, Serigala Kenali Suara Manusia yang Familiar

Bagi kanselir Sosial Demokrat itu, pengeluaran besar-besaran yang diperlukan untuk memasang turbin angin baru, membangun kendaraan listrik, mengurangi polusi produksi baja, atau memproduksi pompa pemanas akan menciptakan lingkaran ekonomi yang baik. Namun visi zaman keemasan ekonomi baru berkat transisi ke energi hijau membuat beberapa ahli skeptis.

Peralihan pertama akan melihat miliaran euro tenggelam untuk mengganti stok yang ada dari teknologi bahan bakar fosil dengan yang terbarukan, "Dengan biaya yang meningkat secara signifikan", kata Russwurm. "Itu tidak akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi ekstra dalam jangka pendek." 

"Kami hanya akan menuai hasil dari investasi ini di masa depan yang jauh ketika kami telah secara efektif berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Timo Wollmershaeuser dari think-tank ekonomi lembaga Ifo kepada media Jerman minggu ini. Pertumbuhan yang relatif lamban kurang dari satu persen menunggu kemajuan Jerman selama beberapa tahun ke depan, prediksi lembaga ekonomi utama negara itu. 

"Pertumbuhan bisa jauh lebih lemah selama dekade ini dibandingkan 2010-an, tahun-tahun yang seharusnya makmur," kata Marcel Fratzscher, kepala wadah pemikir DIW.

Tidak menarik lagi? 

Negara ini juga tertahan oleh kelemahan struktural yang menghalangi kinerja ekonomi yakni birokrasi yang lambat, tingkat digitalisasi rendah, dan populasi menua yang dapat menyebabkan kekurangan tenaga kerja. "Jika populasi tenggelam, PDB juga tidak akan tumbuh," kata Wollmershaeuser.

Dengan ekonomi yang sangat bergantung pada manufaktur, Jerman tampaknya menderita akibat biaya energi yang meningkat setelah perang di Ukraina, meskipun telah jatuh dari puncak awalnya. Rusia sudah lama menjadi sumber gas utama bagi Jerman, memasok volume besar dengan harga relatif rendah ke kelompok industri terbesar di negara itu.

"Biaya energi, kekurangan tenaga kerja, birokrasi, bagi kami, produksi di Jerman tidak lagi menarik," kata Ingeborg Neumann, kepala asosiasi industri tekstil Jerman, pada acara BDI. (AFP/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat