visitaaponce.com

7 Usulan Kebijakan untuk Tangani Kenaikan Harga Beras

7 Usulan Kebijakan untuk Tangani Kenaikan Harga Beras
Pedagang beras melayani pembeli(Antara/Dhedhez Anggara )

UPAYA pemerintah mengendalikan harga beras di tingkat konsumen urung berbuah manis. Sebab, saat ini harga komoditas tersebut masih mengalami kenaikan. Karenanya pengambil kebijakan didorong untuk mencari solusi komprehensif menghadapi gejolak harga bahan pangan itu.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengusulkan tujuh pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk diambil pemerintah. Tujuh pilihan itu dianggap sebagai alternatif yang dapat diterapkan dan mendukung upaya pengendalian harga beras.

"Ada tujuh kebijakan yang mungkin dapat diambil dalam jangka pendek. Bukan berarti harus semua diambil oleh pemerintah, ini kasuistik," ujar Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers, Senin (18/9).

Baca juga: Harga Beras Naik, Warung Makan Kurangi Porsi Nasi

Opsi pertama yang diusulkan ialah mencabut kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Badan Pangan Nasional (Bapanas) dinilai dapat mencabut ketentuan itu guna mengoptimalisasi penyediaan pasokan beras di pasar. Pencabutan HET beras tersebut juga perlu dievaluasi seminggu sekali untuk mengetahui efektivitasnya.

Usulan tersebut didasari pada kondisi lapangan saat ini, yaitu harga beras, baik premium maupun medium telah melampaui HET. Dari data olahan ORI, dalam periode 3 Agustus 2023 hingga 17 September 2023, harga beras premium secara nasional naik 11,54% sedangkan beras medium naik 5,92%.

Baca juga: Bapanas Pastikan 2.000 Ton Beras SPHP Masuk Pasar Cipinang Hari Ini

Per tanggal 17 September 2023, rerata harga beras premium secara nasional tercatat Rp15.180 per kilogram (kg). Lalu rerata harga beras medium secara nasional tercatat Rp12.700 per kg. Sedangkan HET beras premium adalah Rp13.900 per kg dan HET beras medium Rp10.900 per kg.

"Pencabutan HET ini sifatnya sementara, bukan permanen. Dalam pencabutan juga harus ada monitoring. Karena untuk beras premium di pasar modern ini sudah ada pembatasan pembelian," jelas Yeka.

Opsi kedua yang diusulkan oleh ORI ialah Bapanas menetapkan HET gabah di tingkat penggilingan. Ini dinilai dapat menekan kenaikan harga beras yang saat ini terlampau tinggi. Penetapan HET gabah juga mesti diupayakan tak membuat rugi petani.

Perumusan HET gabah juga mesti tetap mempertimbangkan komponen produksi di tingkat petani. Nantinya, kata Yeka, jika harga gabah sudah terkendali, maka kebijakan HET gabah dapat dicabut. Sebab, saat ini harga gabah cenderung bergerak liar dan turut mengerek kenaikan harga beras di tingkat konsumen.

Pilihan ketiga yang diusulkan ialah pembatasan peredaran gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) lintas provinsi. ORI memandang peredaran GKP dan GKG lintas provinsi tidak efisien.

Opsi keempat yang diusulkan ialah mendorong Kementerian Pertanian membuat kebijakan yang mengatur tentang kerja sama antara penggilingan kecil dengan penggilingan besar dalam penyerapan dan penggilingan padi dari petani.

Pilihan kelima, yaitu mendorong Perum Bulog mengoptimalkan lebih cepat pemasukan importasi beras dari berbagai negara guna kepentingan pasokan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Itu perlu diikuti dengan tata kelola importasi yang tetap mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mengedepankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Opsi keenam, yaitu Perum Bulog melakukan Operasi Pasar atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) kepada konsumen langsung, tidak perlu melalui Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). "Jadi langsung saja beras itu disalurkan ke masyarakat, tidak perlu ke PIBC. Karena pasti di sana akan ada margin juga," kata Yeka.

Pilihan ketujuh yang diusulkan ORI ialah pemerintah dan aparat penegak hukum mengedepankan asas ultimum remedium dalam pengawasan tata niaga beras. Itu karena penegakan hukum melalui pidana dikhawatirkan dapat membuat pasokan beras semakin langka di pasar.

"Karena sekarang ini ada indikasi perusahaan penggilingan dapat surat cinta dari KPPU dan aparat penegak hukum. Sebenarnya dalam kondisi force majeure mestinya ada pertimbangan lain," tutur Yeka.

"Karena kalau diancam dengan pidana, justru bisa jadi perusahaan penggilingan malah takut untuk menggiling dan berakhir pada langkanya beras. Dalam kondisi ini justru harusnya dibina, didampingi, bukan membuat orang menjadi takut," tambahnya. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat